Rabu, 15 Juni 2011

Ratifikasi Statuta ICC

Menurut pendapat saya, sebaiknya Indonesia tidak perlu meratifikasi Statuta ICC dikarenakan Indonesia akan menjadi terikat kepada Statuta ICC. Hal ini didasari kepada sifat dari Statuta ICC itu “non-reserved treaty” sehingga seluruh ketentuan dari statuta ICC harus diterapkan dalam sistem hukum pidana nasional. Dengan kata lain, apabila kita meratifikasi statuta ICC maka kita perlu melakukan perubahan yang mendasar kepada sistem hukum pidana nasional. Selain itu terdapat banyak perbedaan sistem hukum antara Statuta ICC dengan KUHP antara lain. Pertama, adanya perbedaan-perbedaan antara unsur-unsur kejahatan yang merupakan kejahatan serius sebagaimana diakui dalam yurisdiksi materil Statuta ICC dengan unsur-unsur kejahatan biasa yang diakui dalam KUHP. Kedua, Tindak pidana yang menjadi yurisdiksi ICC difokuskan kepada tindak pidana yang berkaitan dengan peranan negara dalam kaitannya dengan penduduk sipil. Ketiga, terhadap kejahatan-kejahatan yang diakui dalam yurisdiksi materil ICC tidak diakui daluarsa dan diakuinya ne bis in idem secara terbatas, sedangkan dalam KUHP diakui adanya daluarsa terhadap kejahatan-kejahatan dan diakuinya asas ne bis idem secara mutlak.
Keberadaan dari statuta ICC ini seharusnya kita hormati dan dijadikan sumber inspirasi dalam bagi kalangan pakar hukum dan pemerintah untuk mengembangkan dan meningkatkan peranan hukum nasional dalam menyikapi dan mengantispasi perkembangan HAM di Indonesia. Langkah tersebut sebenarnya telah ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia yaitu dengan adanya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 dimana Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan Genosida telah dikriminalisasikan. Hal tersebut menunjukan bahwa negara kita menghormati dan memberikan perlindungan yang memadai terhadap HAM.
Sebenarnya kedudukan sebuah negara ikut meratifikasi atau tidak meratifikasi Statuta ICC tidak memiliki resiko potensial karena ketentuan dalam Statuta ICC tidak berlaku surut dan tetap menganut asas legalitas yang bersifat universal dan merupakan pelengkap pengadilan nasional (asas komplementaris) serta diperkuat dengan ramb-rambu hukum yang kuat sehingga relatif aman bagi kedaulatan hukum negara peserta. Akan tetapi, yang perlu diwaspadai yaitu dengan dominasi DK PBB lebih kuat dibandingkan dengan negara non anggota PBB sekalipun negara anggota DK PBB tersebut sangat potensial melakukan pelanggaran HAM dibandingkan dengan non negara anggota DK PBB. Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak perlu meratifikasi statuta ICC mengingat perangkat hukum di Indonesia cukup memadai dalam rangka mencegah dan melindungi HAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar