Rabu, 13 April 2011

Kerusuhan di LP: Penyakit menular?

Dalam rentang empat bulan di tahun 2003, terjadi “pergolakan” di beberapa lembaga permasyarakatan (lapas) di Indonesia khususnya pada saat menjelang Hari Raya Idul Fitri (Lebaran). Barangkali perlu penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara kerusuhan di lapas dengan datangnya hari Lebaran. Lokasi kerusuhan tersebut terjadi terutama di lapas Pulau Jawa. Terakhir terjadi di Kota Bandung, tepatnya di lapas Kebonwaru beberapa hari sebelum Lebaran. Ratusan narapidana (warga binaan) nyaris kabur setelah pelemparan dan perusakan genteng, jendela kaca kantor rumah tahanan (rutan), serta menjebol pintu dan dinding sel dekat dapur penjara dan pagar pemisah antarblok dengan kantor rutan. Apabila diamati secara lebih cermat, tampaknya rentetan ‘kerusuhan’ di lapas tersebut tidaklah berdiri sendiri. Seolah-olah rentetan kerusuhan tersebut seperti penyakit menular, yang bersifat patologi sosial. Apabila terjadi kerusuhan di sebuah lapas, bisa seolah-olah lapas lainnya merespons dengan ikut mengadakan kerusuhan.

B. Pembahasan
Setelah melihat artikel di atas, bahwa patologi sosial dapat terjadi dalam lembaga permasyarakatan, penyakit tersebut seolah-olah dapat menular. Menurut Gerald Leiawand dalam buku Prisons (1972) menyebutkan sejumlah penyakit-penyakit penjara (the ill of prison) sebagai berikut:
1. Kekurangan dana;
2. Penghuni yang padat;
3. Keterampilan petugas dan gaji yang buruk;
4. Kekurangan tenaga profesional;
5. Prosedur pembebasan (bersyarat) yang serampangan;
6. Makanan yang jelek dan tidak memadai;
7. Kesempatan memberikan pekerjaan yang konstruktif dan waktu rekreasi yang minim;
8. Kurang memberikan kegiatan-kegiatan yang bersifat mendidik;
9. Hukuman yang lama tanpa peninjauan pengadilan;
10. Homoseksualitas yang keras, kecanduan obat (drug addiction) dan kejahatan di anatar penghuni;
11. Hukuman yang keras dan kejam terhadap pelanggaran aturan;
12. Keterangan rasial.
Dilihat dari artikel diatas kita dapat melihat bahwa begitu banyaknya masalah yang ada di dalam lapas. Untuk menuntaskan permasalahan tersebut kiranya diperlukan suatu mekanisme yang baik guna terselenggaranya pembinaan narapidana agar sesuai tujuan dari pembinaan tersebut. Hal tersebut perlu didukung oleh komponen-komponen yang memadai yang dapat dimulai dari petugas lapas, adanya peraturan yang memadai, dana yang cukup, sarana prasarana, dan sikap dari para narapidana itu sendiri serta adanya sistem pembinaan yang baik.
Menurut mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin yang mengatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya. Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.
Dengan demikian jika warga binaan di LP kelak bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti semula. Fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan resosialisasi ke dalam masyarakat.
Sistem pembinaan yang baik bagi warga binaan di lapas dapat menjadi tolak ukur apakah warga binaan lapas tersebut dapat menjadi penjahat yang lebih jahat atau tidak.

Sistem pembinaan bagi warga binaan sampai saat ini sudah cukup memadai yang ditunjang dengan adanya UU No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dengan adanya peraturan dan sistem yang memadai tersebut dapat meminimalisir masalah-masalah akan timbul di dalam lapas antar warga binaan seperti kerusuhan. Kerusuhan yang terjadi di lapas dapat menjadi indikator terpenting untuk membedah permasalahan pembinaan warga binaan. Menurut Cesare Beccaria, penyebabnya bukan hanya terletak di dalam proses pembinaan dalam lapas tetapi juga dari luar lapas yaitu bahwa dalam masyarakat itu sendiri tempat persemaian kejahatan.
Menurut Vernon Fox, kerusuhan dan pemberontakan warga binaan tidak mungkin muncul tanpa terkait dengan persoalan nyata yang ada di dalam masyarakat. Permasalahan yang terdapat di dalam lapas begitu luas dimensinya. Untuk menekan timbulnya permasalahan yang terdapat di dalam lapas diperlukan sarana dan prasarana yang memadai seperti:
1. Sarana Gedung Pemasyarakatan
Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan seram penghuninya.

2. Pembinaan Narapidana
Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak berfungsi lagi, atau kalau toh berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang diproduksikan di luar (hasil produksi perusahan).

3. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan.
Selain itu, keberadaan dan peran komponen penting lainnya yang merupakan ‘konsumen’ dari ‘produk’ lapas yaitu masyarakat. Dari sudut sosiokriminologis, masyarakat masih menganggap seorang mantan napi itu akan melakukan kejahatan kembali. Persepsi tersebut yang dapat menghambat proses resosialisasi mantan warga binaan kembali ke dalam lingkungan masyarakat seperti semula. Karena pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi penjara, inilah yang dimaksud proses rehabilitasi.
Sikap masyarakat yang sulit menerima kembali kembali mantan warga binaan menyebabkan proses pembinaan di lapas akan menjadi sia-sia. Padahal sesungguhnya jika dianut kebelakang para mantan warga binaan merupakan masyarakat itu sendiri. Sehingga Cesare Beccaria mengatakan bahwa “setiap masyarakat memiliki penjahatnya sendiri”. Ungkapan tersebut memperjelas bahwa masyarakat bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan yang dibuat oleh anggota masyarakat itu sendiri.
Sehingga diperlukan pasrtisipasi aktif dan rasa empati dari masyarakat apabila masih tetap adanya anggapan yang buruk terhadap mantan warga binaan karena hal tersebut akan dapat menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri seperti mereka mungkin saja dapat melakukan kejahatan kembali atau bahkan dapat menjadi penjahat yang lebih profesional. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena adanya ‘dendam sosial’ atas perlakuan yang didapat dari masyarakat. Selain itu, adanya cap dari masyarakat yang buruk tersebut menyulitkan para mantan warga binaan dalam mendapatkan pekerjaan yang halal serta adanya proses pelepasan bersyarat yang tidak sempurna. Seharusnya proses tersebut melalui mekanisme penyaringan dengan pertimbangan dan saran Dewan Pembina yang benar-benar matang bagi kpentingan warga binaan yang akan diberi pelepasan bersyarat tersebut.


Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, bahwa kerusuhan yang terjadi dalam lembaga pemasyarakatan terjadi disebabkan adanya kejadian yang ada di dalam lapas itu sendiri tetapi juga berakar di luar Lapas. Akan tetapi apabila kita melihat sistem yang berlaku saat ini dalam pembinaan warga binaan cukup memadai yang ditunjang pula dengan adanya UU No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Sehingga menurut saya kerusuhan yang terjadi dalam Lapas disebabkan kualitas pembinaan yang kurang baik. Selain itu, adanya paradigma dalam masyarakat terhadap mantan narapidana mempersulit proses resosialisasi ke dalam lingkungan masyarakat seperti semula.

Saran

Menanggapi permasalahan yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan dan persepsi masyarakat terhadap mantan narapidana, ada beberapa yang ingin saya sampaikan:
1. Adanya suatu sistem yang berorientasi pada nasib para narapidana ketika ia bebas dan kembali kepada masyarakat.
2. Adanya partisipasi dari pemerintah untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap para mantan narapidana





DAFTAR PUSTAKA


Petrus, Irwan Panjaitan. 1995. Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Anwar, Yesmil. 2009. Saat Menuai Kejahatan. Bandung: Refika Aditama.

Perundang-undangan
UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
PP No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar