Minggu, 19 Juni 2011

Prinsip-prinsip dalam ICC

A. Prinsip komplementaris
Prinsip ini dicantumkan dalam alinea kesepuluh piagam statuta ICC yang berisi sebagai berikut “Emphasizing that the international criminal court established under this Statute shall be complementary to national criminal jurisdiction”. Pengadilan pidana internasional ini seharusnya memperkuat dan melengkapi pengadilan pidana nasional dan tidak menggantikan fungsi dan tugas penyidikan, penuntutan, dan peradilan nasional. Hal itu tidak bererti bahwa pengadilan pidana internasional merupakan perpanjangan yurisdiksi pengadilan nasional. Prinsip ini merupakan prinsip baru dalam hukum internasional publik dan memiliki arti yang sangat penting dalam perkembangan hukum internasional karena masyarakat internasional telah memiliki suatu cara yang tepat dalam menangani suatu kejahatan internasional. Cara yang tepat dimaksud ialah bahwa telah dihasilkannya suatu cara yang tepat guna dan efisien dimana keterlibatan masyarakat internasional di dalam kejahatan serius yang terjadi di dalam suatu negara tidak menegasikan kedaulatan negara yang bersangkutan. Prinsip ini justru memperkuat eksistensi prinsip dalam pemberantasan kejahatan internasional yaitu prinsip au dedere au punere. Akan tetapi prinsip ini tidak mengakui secara mutlak prinsip au dedere au punere karena dengan prinsip ini setiap negara locus delicti harus bersedia menyerahkan pelaku kejahatan internasional kepada pengadilan pidana internasional apabila negara locus delicti tersebut dianggap unwilling dan unable. Prinsip ini menunjukan bagaimana hubungan antara Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan Nasional. Berdasarkan prinsip tersebut, maka ada 2 (dua) hal yang esensial sebagai berikut:
(1) bahwa sesungguhnya Mahkamah Pidana Internasional merupakan kepanjangan tangan/wewenang dari pengadilan nasional dari suatu negara;
(2) bahwa sesungguhnya bekerjanya Mahkamah Pidana Internasional tidak serta merta mengganti kedudukan pengadilan nasional. Kedua hal yang bersifat esensial tersebut diatas, dapat diukur dari standar penerimaan atau standards of admissibility (Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma-1998), yang mensyaratkan 4 (empat) keadaan sebagai berikut :
1) Mahkamah Pidana Internasional harus menentukan bahwa suatu kasus adalah tidak dapat diterima oleh Mahkamah, jika :
a. kasus kejahatan internasional sedang disidik atau dituntut oleh sejumlah negara yang memiliki jurisdiksi atas kejahatan internasional tersebut kecuali : negara yang berersangkutan tidak mau (unwilling) atau tidak mampu secara bersungguh-sungguh (unable genuinely) melaksanakan penyidikan atau penuntutan.
b. Kasus kejahatan internasional tersebut telah disidik oleh negara yang bersangkutan, akan tetapi negara yang bersangkutan telah menetapkan untuk tidak menuntut tersangka/terdakwa, kecuali tindakan tersebut disebabkan oleh tidak adanya kehendak atau ketidakmampuan Negara yang bersangkutan untuk secara bersungguh-sunguh melakukan penuntutan.
c. terdakwa sudah diadili dan peradilan Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat dilaksanakan berdasarkan Pasal 20 ayat (3).
d. Kasus tersebut tidak bersifat serius untuk diteruskan dan di adili oleh Mahkamah.

B. Prinsip Ne bis in idem terbatas
Prinsip ini bertujuan untuk memberikan suatu kepastian hukum. Prinsip ini diatur dalam pasal 20 Statuta Roma, yang berbunyi sebagai berikut: “ Tidak seorang pun yang telah diadili oleh mahkamah lain karena tindakannya yang juga disebutkan di dalam pasal 6, 7, dan 8 akan dituntut oleh mahkamah karena tindakannya yang sama terkecuali jika proses peradilan di mahkamah yang lain tersebut:
a. Bertujuan untuk melindungi orang yang dimaksud dari pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana dalam yurisdiksi dari mahkamah tersebut; atau
b. Tidak dilakukan secara mandiri atau tidak memihak dengan menunjuk pada norma-norma dari peradilan yang diakui oleh hukum internasional dan dilakukan dengan cara yang tidak konsisten dengan tujuan untuk mencapai keadilan.
Di dalam ketentuan pasal 20 (3) Statuta roma tersebut, prinsip ne bis in idem tidak dianut secara mutlak, akan tetapi terbatas. Dengan kata lain masih dapat diterobos dengan 2 persyaratan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (a) dan (b).

C. Penjatuhan Pidana
Dalam ICC tidak dikenal hukuman mati, tetapi maximal hukuman yaitu hukuman penjara seumur hidup untuk kasus yang ekstrim. Hal tersebut mencerminkan perkembangan dari hukum HAM internasional. Apabila kita melihat kepada sejarah pengadilan pidana internasional, tepatnya dalam IMT Nuremberg dikenal adanya hukuman mati yang dikenakan kepada NAZI yang dianggap telah melakukan kejahatan internasional selama PD II. Persetujuan yang melandasi pelaksanaan MahkamahNurenberg, yakni Agreement for the Prosecution and Punishment of the Major War Criminals of the European Axis tanggal 8 Agustus 1945 tegas memuat ancaman pidana mati. Sedangkan di dalam sistem peradilan ICTY dan ICTR, pidana mati tidak akan pernah diterapkan. Ini juga sekaligus berarti bahwa para pelaku genosida, pelaku kejahatan perang dan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk yang terwujud dalam tindakan-tindakan penyiksaan, eksperimen biologis dalam perang, penyanderaan penduduk sipil, pengeboman desa-desa yang bukan merupakan objek militer dalam perang, perbudakan, pembunuhan, penyiksaan, dan perkosaan sampai kapan pun tidak akan pernah dipidana mati di bawah sistem ICTY dan ICTR. Apa yang sudah dimulai oleh ICTY dan ICTR terkait dengan pidana mati ternyata kemudian dipertegas oleh Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar penyelenggaraan ICC (International Criminal Court). Artikel 77 Statuta Roma 1998 secara tegas menyatakan bahwa pidana pokok yang bisa dijatuhkan terhadap pelaku genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (the crime of agression). Akan tetapi pidana tambahan dapat dijatuhkan seperti hukuman denda sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dan pengembalian hasil, kekayaan, dan aset yang diperolehnya baik secara langsung maupun tidak langsung dari kejahatan yang dilakukannya. Jadi sama halnya dengan Statuta ICTY dan ICTR, pemidanaan di dalam sistem ICC yang hanya dibatasi pada pidana penjara (imprisonment) akan membuat pelaku kejahatan internasional yang diatur dalam Artikel 5 Statuta Roma (genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan agresi) tidak akan pernah tersentuh oleh pidana mati, betapa pun misalnya pelaku kejahatan ini luar biasa kejam dan tindakannya menyebabkan matinya ribuan orang, termasuk perempuan dan anak-anak.

Daftar pustaka
Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Pidana Internasional II, Hecca Press,
Jakarta, 2004.
Makalah pengadilan pidana internasional, Prof. Romli Atmasasmita
Jurnal ilmu hukum “Hukum Pidana Mati dalam Perspektif Hukum Internasional”, Arie Siswanto

Sejarah dan Perkembangan Pengadilan Pidana Internasional dan Pengadilan HAM Indonesia

A. Pengadilan Pidana Internasional

a. IMT Nuremberg
IMT Nuremberg merupakan suatu pengadilan Ad Hoc (sementara) dimulai pada November 1945 sampai dengan September 1946, yang dibentuk atas inisiatif sekutu selaku pemenang perang sehingga dikatakan sebagai Victor Justice. Pengadilan ini telah membawa ke meja hijau sebanyak 22 orang penjahat perang NAZI, 11 diantaranya dijatuhi pidana mati. Yurisdiksi materil dari pengadilan Ad Hoc ini meliputi Crimes Against Peace, Crimes Against Humanity, dan War Crimes. Dasar hukum dari pengadilan ini yaitu Charter dan Principle yang dibuat oleh pemenang perang. Selain itu dalam IMT Nuremberg dikenal adanya individual responsibility dan asas retroaktif. Meskipun dalam hukum internasional dilarang menggunakan asas retroaktif karena bertentangan dengan asas legalitas, tetapi penyimpangan terhadap asas-asas hukum universal merupakan suatu kekecualian yang dimungkinkan sesuai dengan kebutuhan hukum pada masanya dan untuk menampung aspirasi keadilan yang restoratif dan tidak semata-mata keadilan yang bersifat restibutive.

b. IMT Tokyo
IMT Tokyo ini serupa dengan IMT Nuremberg yang bersifat sementara, dimulai tahun 1946 sampai dengan 1948. Dasar hukum dari mahkamah ini yaitu Charter dan Principle yang dibuat oleh pemenang perang. Selain itu dalam IMT Nuremberg dikenal adanya command responsibility dan asas retroaktif. Pengadilan Ad Hoc ini telah membawa penjahat perang ke meja hijau, yang diantaranya dijatuhi pidana mati sebanyak 7 orang, 16 orang divonis penjara seumur hidup, 2 orang penjara, 2 orang dinyatakan meninggal dunia, dan 1 orang dinyatakan gila. Yurisdiksi materil dari pengadilan Ad Hoc ini meliputi Crimes Against Peace, Crimes Against Humanity, dan War Crimes.

c. ICTY
Berbeda dengan Mahkamah Internasional nyang merupakan suatu peradilan tetap, mahkamah ini didirikan oleh suatu keputusan DK PBB no. 827 tanggal 25 Mei 1993 yang bertindak dibawah Bab VII Piagam yang berkenaan dengan pemeliharaan perdamaian dan kemanan internasional. Mahkamah ini dibentuk untuk mengadili kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran-pelanggaran berat hukum humaniter di wilayah negara bekas Yugoslavia (Bosnia dan Kosovo). Yurisdiksi mahkamah ini meliputi pelanggaran-pelanggaran berat terhadap Konvensi-konvensi Jenewa 1949, pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang, kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan-tindakan genosida, atau dapat kita katakan juga bahwa ICTY memiliki yurisdiksi terhadap berbagai kejahatan baik di dalam internal armed coflict maupun internasional armed conflict. Dalam hal pembentukan ICTY berdasarkan resolusi DK PBB, DK PBB dianggap sebagai suatu lembaga yang paling tepat untuk membentuk ICTY. Hal ini dikarenakan terdapat pelanggaran secara luas hukum humaniter internasional di wilayah bekas negara Yugoslavia, termasuk pembunuhan-pembunuhan massal dari pembersihan etnis, sehingga menimbulkan suatu ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. , Jadi, pembentukan mahkamah ini merupakan suatu sumbangan yang sangat berarti bagi pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi dan pengukuhan hukum humaniter internasional dan sekaligus mengingatkan kepada para pelanggar HAM berat yang akan datang bahwa mereka tidak akan bebas begitu saja dan akan ada pengadilan pidana internasional yang akan menuntut dan mengadili mereka.
d. ICTR
Seperti halnya dengan ICTY, mahkamah ini dibentuk berdasarkan DK PBB melalui resolusi no. 955, 8 November 1994, dibawah wewenang Bab VII Piagam. Yurisdiksi ICTR ini hanya meliputi peristiwa-peristiwa yang terjadi oada tahun 1994 saja dimana kelompok mayoritas etnik Hutu melakukan pembantaian terhadap kelompok etnis minoritas Tutsi yang menelan korban jiwa sekitar 800.000 orang, sehingga dapat dikatakan bahwa yurisdiksi mahkamah ini adalah internal armed conflict. Sedangkan yurisdiksi materilnya meliputi Genosida, pelanggaran konvensi Geneva, dan Kejahatan terhadap kemanusiaan. ICTR dalam melakukan kegiatannya secara pararel dengan sistem peradilan Rwanda yang menuntut mereka yang melakukan perbuatan genosida dan dalam melaksanakan tugas-tugasnya mendapatkan dukungan dan kerja sama yang baik dari negara-negara Afrika lainnya. Pembentukan ICTR dan keberhasilan dalam melaksanakan tugasnya ini memiliki arti yang penting bagi benua Afrika yang sering dilanda perang saudara dan kudeta.

e. Special Court for Sierra Leone (SCSL)
Masih di benua Afrika, pada bulan Januari 2002 atas dasar persetujuan antara pemerintah Sierra Leone dan PBB dibentuk pula Mahkamah Khusus untuk Sierra Leone. SCSL ini merupakan Mixed Tribunal yaitu Mahkamah yang terdiri dari hakim-hakim internasional dan hakim-hakim nasional. Tugas dari SCSL ini adalah menuntut dan mengadili orang-orang yang sangat bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan pelanggaran-pelanggaran berat lainnya terhadap hukum humaniter internasional serta kejahatan-kejahatan yang dilakukan melanggar perundang-undangan Sierra Leone yang relevan dan terjadi di wilayah Sierra Leone semenjak tanggal 30 November 1996. SCSL ini dibentuk berdasarkan resolusi DK PBB No. 1315, 14 Agustus 2000. Selain itu, SCSL ini selama 2 tahun didirikan telah mengeluarkan dakwaan terhadap 13 orang yang mewakili 3 faksi yang saling berperang, 2 orang tersangka sudah meninggal.



f. Cambodia
Sama halnya dengan SCSL, Cambodia merupakan suatu mahkamah yang termasuk ke dalam Mixed Tribunal. Mahkamah tersebut dibentuk untuk menuntut dan mengadili para penjahat terhadap kemanusiaan dan penjahat perang Kmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot yang antara tahun 1975-1979 telah membunuh penduduk sekitar 1. 700. 000 orang. Dalam mahkamah Pidana di Camboja dpimpin oleh hakim-hakim yang dipilih oleh Majelis Umum PBB dan hakim-hakim yang ditunjuk oleh pemerintah setempat.

g. Mahkamah Pidana Internasional
Perang Dunia II telah membawa bencana dan malapetaka besar terhadap umat manusia yang telah menelan korban jiwa sekitar 60 juta orang, jauh lebih banyak dari korban pada perang dunia I yang berjumlah 38 juta orang. . Kejahatan-kejahatan perang, pembunuhan secara sistematik, perbuatan genosida telah menandai bahwa adanya perang global, pembunuhan-pembunuhan secara massal dan sistematik terus terjadi.Keadaan tersebut telah mendorong masyarakat internasional untuk secepatnya membentuk mahkamah yang dapat mengadili para pelaku kejahatan perang tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, sudah lama para ilmuwan memikirkan untuk membentuk suatu pengadilan yang dapat menuntut dan mengadili para pelaku kejatan perang, pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Gagasan untuk membentuk mahkamah pidana ini terus bergulir dan dari tahun 1949 – 1954 Komisi Hukum Internasional PBB menyiapkan beberapa draft statuta bagi pembentukan suatu mahkamah pidana internasio nal. Pada tahun 1994 komisi hukum internasional telah menyelesaikan pekerjaannya dalam pembuatan draft statuta tersebut dan menyerahkan kepada Majelis Umum PBB. Majelis Umum PBB kemudian menyerahkannya kepada Ad Hoc Committe tentang pembentukan Mahkamah Pidana Internasional untuk melanjutkan pembahasan atas isu-isu yang substantif. Kemudian pada tahun 1995, MU PBB membentuk Preapatory Committe setelah mempelajari laporan dari Ad Hoc Committe sebelum melanjutkannya ke konferensi diplomatik. Berdasarkan resolusi MU PBB No. 51/207, 1966 dan resolusi No.52/160, 1997 diselenggarakan the United Nations Diplomatic Conference of Plenipotentiaries tentang Pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasional yang berlangsung dari tanggal 15 Juni – 17 Juli 1998. Sampai dengan 31 Desember 2000, Statuta Mahkamah Pidana Internasional tersebut terdapat 139 negara yang menandatangi. Pembentukan Mahakamah Pidana Internasional ini sungguh merupakan peristiwa sejarah yang sangat penting dalam perkembangan sistem hukum karena individu-individu dapat dibawa ke mahkamah apabila terbukti melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sesuai dengan pasal 126 Statuta melai berlaku setelah didepositkannya pada Sekjen PBB ratifikasi ke 60 yaitu tanggal 1 Juli 2002. Sampai bulan September 2004, 97 negara sudah meratifikasi statuta tersebut. Mahkamah Pidana Internasional hanya menuntut dan mengadili individu-individu yang bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional. Mahkamah Pidana Internasional ini memiliki beberapa yurisdiksi, diantaranya yaitu:
- yurisdiksi materil yang meliputi the Crime of Genocide, Crimes Against Humanity, War Crimes, The Crime of Aggression.
- yurisdiksi temporal yaitu bahwa kejahatan-kejahatan yang termasuk ke dalam yurisdiksi materil dan dilakukan sejak tanggal 1 Juli 2002 akan dapat dibawa ke ICC.
- yurisdiksi territorial yaitu bahwa ICC dapat diberlakukan di wilayah negara peserta (negara yang ikut menandatangani dan/atau meratifikasi statuta roma), negara yang menerima yurisdiksi ICC, dan atas putusan DK PBB.
- yurisdiksi personal yaitu ICC dapat diberlakukan kepada negara peserta, negara yang menerima yurisdiksi ICC, dan sepanjang menurut DK PBB layak untuk dibawa ke ICC.
Statuta ICC ini memiliki beberapa prinsip yang dapat digolongkan ke dalam 2 golongan yaitu prinsip-prinsip yang bersifat spesifik dan prinsip-prinsip yang bersifat universal. Prinsip-prinsip yang bersifat spesifik ini meliputi 7 prinsip yaitu: prinsip komplementaris, prinsip non-impunity, prinsip admissibillty, prinsip ne bis in idem yang bersifat limitatif, prinsip kerjasama internasional, prinsip non capital punishment, dan prinsip imunitas Hakim Majelis. Prinsip-prinsip yang bersifat universal yang merupakan prinsip umum hukum pidana (general principles of criminal law) meliputi: prinsip nullum crimen sine lege, prinsip nulla poena sine lege, prinsip non-retroaktif, prinsip individual criminal responbility, prinsip command responbility, prinsip non kadaluarsa, prinsip pengecualian dalam pertanggungjawaban, dan prinsip praduga tak bersalah.

B. Pengadilan HAM di Indonesia
Pada tanggal 23 september 1999 telah diundangkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Salah satu aplikasi dari perlindungan HAM adalah bahwa terhadap barang siapa melakukan pelanggaran HAM berat dapat diketahui harus diadili dan bila terbukti harus dihukum sesuai sanksi hukum yang diancamkan. Pasal 104 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menentukan:
(1) Untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.
(3) Sebelum terbentuk Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggrana HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh Pengadilan yang berwenang.
Sebagai langkah lanjut dari pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, pada tanggal 23 September 2000 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebagai konsekuensi diundangkannya undang-undang ini, maka ada kewajiban pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM. Sebagai realisasinya pada tanggal 23 April 2001 telah diundangkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2001 tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebagai tindak lanjut untuk pembentukan Pengadilan HAM maka diundangkan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001, yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001 tanggal 1 Agustus 2001 yang mengubah Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001. Untuk melaksanakan Keputusan Presiden mengenai pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, MA telah membentuk Kelompok Kerja Persiapan Pelaksanaan Peradilan HAM. Kelompok kerja kini kemudian melaksanakan tugasnya dengan menghubungi perguruan-perguruan Tinggi, lembaga atau institusi yang melakukan studi tentang HAM untuk memperoleh masukan dan kontribusi dari Dosen-Dosen atau memimpin lembaga studi mengenai HAM atau sebagai penatar dalam penataran dan temu ilmiah tentang HAM. Upaya ini dilakukan oleh Kelompok Kerja MA dalam rangka merekrut-rekrut Hakim-hakim Ad Hoc bersama-sama hakim karier yang telah ditunjuk. Kombinasi hakim tersebut dipersiapkan sebagai Hakim-hakim Peradilan HAM Ad Hoc. Hal tersebut dengan tujuan supaya perkara HAM yang berat dapat diadili secara lebih objektif. Melalui proses yang cukup panjang, akhirnya terbentuklah Peradilan HAM Ad Hoc yang bertempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (sesuai Kepres Nomor 96 Tahun 2001). Hakim Pengadilan HAM tingkat pertama dilantik pada tanggal 31 Januari 2002. Kemudian Jaksa Agung RI melalui keputusan Jaksa Agung Kep. 092/A/JA/02/2002 tanggal 7 Februari 2002 telah mengangkat 24 Jaksa Ad Hoc, dan pada hari Kamis tanggal 21 Februari 2002 penyerahan perkara untuk pertama kalinya oleh Jaksa diserahkan pada Peradilan HAM Ad Hoc. Pada tanggal 14 Maret 2002 Pengadilan HAM Ad Hoc untuk pertama kalinya menggelar persidangan perkara pelanggaran HAM di Timtim.

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Pidana Internasional II, Hecca Press,
Jakarta, 2004.
Dirdjosisworo, Soedjono, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Mauna, Boer, Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2008.

Perbandingan antara ICC dengan Pengadilan HAM Indonesia

Apabila dilihat dari latar belakangnya berdiri ICC, bahwa ICC dibentuk akibat dari adanya Perang Dunia II telah membawa bencana dan malapetaka besar terhadap umat manusia yang telah menelan korban jiwa sekitar 60 juta orang, jauh lebih banyak dari korban pada perang dunia I yang berjumlah 38 juta orang. .Kejahatan-kejahatan perang, pembunuhan secara sistematik, perbuatan genosida telah menandai bahwa adanya perang global, pembunuhan-pembunuhan secara massal dan sistematik terus terjadi.Keadaan tersebut telah mendorong masyarakat internasional untuk secepatnya membentuk mahkamah yang dapat mengadili para pelaku kejahatan perang tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, sudah lama para ilmuwan memikirkan untuk membentuk suatu pengadilan yang dapat menuntut dan mengadili para pelaku kejatan perang, pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Gagasan untuk membentuk mahkamah pidana ini terus bergulir dan dari tahun 1949 – 1954 Komisi Hukum Internasional PBB menyiapkan beberapa draft statuta bagi pembentukan suatu mahkamah pidana internasio nal. Pada tahun 1994 komisi hukum internasional telah menyelesaikan pekerjaannya dalam pembuatan draft statuta tersebut dan menyerahkan kepada Majelis Umum PBB. Majelis Umum PBB kemudian menyerahkannya kepada Ad Hoc Committe tentang pembentukan Mahkamah Pidana Internasional untuk melanjutkan pembahasan atas isu-isu yang substantif. Kemudian pada tahun 1995, MU PBB membentuk Preapatory Committe setelah mempelajari laporan dari Ad Hoc Committe sebelum melanjutkannya ke konferensi diplomatik. Berdasarkan resolusi MU PBB No. 51/207, 1966 dan resolusi No.52/160, 1997 diselenggarakan the United Nations Diplomatic Conference of Plenipotentiaries tentang Pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasional yang berlangsung dari tanggal 15 Juni – 17 Juli 1998. Sampai dengan 31 Desember 2000, Statuta Mahkamah Pidana Internasional tersebut terdapat 139 negara yang menandatangi. Pembentukan Mahakamah Pidana Internasional ini sungguh merupakan peristiwa sejarah yang sangat penting dalam perkembangan sistem hukum karena individu-individu dapat dibawa ke mahkamah apabila terbukti melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sesuai dengan pasal 126 Statuta melai berlaku setelah didepositkannya pada Sekjen PBB ratifikasi ke 60 yaitu tanggal 1 Juli 2002. Sampai bulan September 2004, 97 negara sudah meratifikasi statuta tersebut. Mahkamah Pidana Internasional hanya menuntut dan mengadili individu-individu yang bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional.
Sedangkan, Pengadilan HAM Indonesia dibentuk karena adanya berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia seperti kasus pelanggaran HAM yang terjadi belum pernah terselesaikan secara tuntas antara lain kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Papua dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur selama pra dan pasca jajak pendapat belum ada yang terselesaikan. Karena adanya kondisi tersebut, maka masyarakat internasional memberikan perhatiannya kepada Indonesia terutama karena adanya pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor-Timur. Tidak saja itu, akan tetapi Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Geneva pada tanggal, 23 – 27 September 1999 menyelenggarakan special session mengenai 1
situasi di Timor Timur. Special session tersebut adalah yang keempat diadakan sejak komisi ini dibentuk 50 tahun yang lalu. Hal ini membuktikan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur menarik perhatian masyarakat internasional. Special Session tersebut mengeluarkan Resolusi 1999/S-4/1 yang menuntut kepada Pemerintah Indonesia, antara lain:
- mengadakan kerjasama dengan Komnas HAM yang akan menjamin bahwa orang-orang yang melakukan pelanggaran HAM tersebut akan bertanggung jawab dan diadili atas tindak kekerasan dan pelanggaran sistematis terhadap hak asasi manusia.
- membentuk komisi penyelidik internasional dengan komposisi anggota yang terdiri dari ahli-ahli dari Asia yang akan bekerjasama dengan Komnas HAM Indonesia.
- mengirimkan pelapor khusus ke Timor Timur; dan
- merekomendasikan untuk membentuk International tribunal atas kasus tersebut.
Berdasarkan resolusi Komisi HAM PBB tersebut menunjukan adanya ketidakpercayaan masyarakat internasional pada sistem peradilan Indonesia apabila dilihat dari adanya suatu keterkaitan antara pelaku kejahatan yang merupakan alat negara. Akan tetapi, pemerintah Indonesia secara tegas menolak dan sebagai konsekuensinya pemerintah Indonesia akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan menggunakan perangkat hukum nasional karena di dalam konstitusi Indonesia memungkinkan untuk menyelenggarakan peradilan hak asasi manusia yang antara lain dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945 (sebelum amandemen). Untuk membentuk suatu Pengadilan HAM ini diperlukan suatu mekanisme nasional yang mengharuskan dipenuhinya instrumen hukum nasional yang memadai sesuai dengan
prinsip-prinsip dalam hukum internasional.
Meskipun mekanisme/sistem hukum nasional yang akan dipilih untuk menegakkan pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi tetapi penting untuk memenuhi syarat adanya pengadilan nasional yang efektif. Atas berbagai desakan yang muncul tersebut maka pada tanggal 23 September 1999 pemerintah mengeluarkan Undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang di dalam pasal 104 mengamanatkan pembentukan Pengadilan HAM untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat Pada tanggal 8 Oktober 1999, Presiden Habibie mengeluarkan Perpu No. 1 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perpu tersebut memberikan kewenangan hanya kepada Komnas HAM untuk mengadakan penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia yang nantinya akan diajukan ke pengadilan. Akan tetapi, perpu tersebut ditolak oleh DPR yang dinilai tidak memadai dan DPR membentuk UU no.26 tahun 2000 sebagai langkah lanjut dari pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Pada tanggal 23 September 2000 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebagai konsekuensi diundangkannya undang-undang ini, maka ada kewajiban pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM. Sebagai realisasinya pada tanggal 23 April 2001 telah diundangkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2001 tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Apabila dilihat dari Yurisdiksi, ICC memiliki 4 yurisdiksi yaitu:
- yurisdiksi materil yang meliputi the Crime of Genocide, Crimes Against Humanity, War Crimes, The Crime of Aggression.
- yurisdiksi temporal yaitu bahwa kejahatan-kejahatan yang termasuk ke dalam yurisdiksi materil dan dilakukan sejak tanggal 1 Juli 2002 akan dapat dibawa ke ICC.
- yurisdiksi territorial yaitu bahwa ICC dapat diberlakukan di wilayah negara peserta (negara yang ikut menandatangani dan/atau meratifikasi statuta roma), negara yang menerima yurisdiksi ICC, dan atas putusan DK PBB.
- yurisdiksi personal yaitu ICC dapat diberlakukan kepada negara peserta, negara yang menerima yurisdiksi ICC, dan sepanjang menurut DK PBB layak untuk dibawa ke ICC.
Sedangkan Pengadilan HAM Indonesia memiliki yurisdiksi materil yang meliputi the Crime of Genocide, Crimes Against Humanity yang merupakan bentuk pengadopsian dari Statuta ICC. Hal tersebut diperkuat di dalam pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26 Tahun 2000 dalam penjelasannya dinyatakan sebagai ketentuan yang sesuai dengan Rome Statute of International Criminal Court 1998. Penjelasan tersebut mempunyai konsekuensi bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti yang tercantum dalam Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 sama maksudnya dengan Pasal 6 dan 7 dalam Statuta Roma 1998 termasuk terhadap penyesuaian unsur-unsur tindak pidananya (element of crimes). Di dalam Pengadilan HAM di Indonesia memiliki 2 macam penyelesaian yaitu :
- mekanisme pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang ini, artinya untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun 2000 maka akan dibentuk pengadilan HAM ad hoc.
- Kedua adalah pengadilan HAM yang sifatnya permanen terhadap kasus setelah terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000 dan yang ketika adalah dibukanya jalan mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.
Selain itu di dalam Statuta ICC ini memiliki beberapa prinsip yang dapat digolongkan ke dalam 2 golongan yaitu prinsip-prinsip yang bersifat spesifik dan prinsip-prinsip yang bersifat universal. Prinsip-prinsip yang bersifat spesifik ini meliputi 7 prinsip yaitu: prinsip komplementaris, prinsip non-impunity, prinsip admissibillty, prinsip ne bis in idem yang bersifat limitatif, prinsip kerjasama internasional, prinsip non capital punishment, dan prinsip imunitas Hakim Majelis. Prinsip-prinsip yang bersifat universal yang merupakan prinsip umum hukum pidana (general principles of criminal law) meliputi: prinsip nullum crimen sine lege, prinsip nulla poena sine lege, prinsip non-retroaktif, prinsip individual criminal responbility, prinsip command responbility, prinsip non kadaluarsa, prinsip pengecualian dalam pertanggungjawaban, dan prinsip praduga tak bersalah.
Sedangkan di dalam Pengadilan HAM Indonesia, dikenal adanya prinsip individual criminal responbility, prinsip command responbility, adanya prinsip retroaktif yang sangat erat kaitannya dengan Betuk pengadilan HAM ad hoc yang dalam Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 yang berlaku untuk locus dan tempus delicti tertentu mengacu pada bentuk pengadilan internasional ad hoc, yang antara lain memungkinkan berlakunya prinsip retroaktivitas.
Apabila dilihat dari organ pengadilan di ICC terdiri dari presiden yang masa jabatannya 9 tahun, hakim yang berkualifikasi terdiri dari 18 orang (pre trial, trial, dan appeal) yang memiliki masa jabatan 3tahun, 6 tahun, dan 9tahun. JPU berkualifikasi yang masa jabatanya 3tahun dan 9 tahun dan panitera yang bertanggung jawab atas aspek non hukum, administrasi, dan pelayanan pengadilan. Hakim dan JPU dipilih oleh majelis negara peserta sedangkan panitera dipilih oleh Hakim. Sedangkan, di dalam pengadilan HAM, penyelidikan dilakukan oleh KOMNAS HAM, penyidikan, penangkapan dan penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung. Untuk kasus pelanggaran HAM yang berat terdapat 5 orang hakim berkualifikasi yang terdiri dari 2 orang hakim pengadilan HAM dan 3 orang hakim Ad Hoc yang akan memeriksa, mengadili, dan memutus. Majelis hakim tersebut diketuai oleh hakim dari pengadilan HAM yang bersangkutan.Pada tingkat banding majelis hakimnya berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim dari pengadilan setempat dan 3 orang hakim ad hoc. Demikian juga komposisi mengenai majelis hakim dalam tingkat kasasi. Dari ketentuan diatas, pengaturantentang hakim ad hoc hanya sampai pada tingkat kasasi. Tidak ada kejelasan mengenai hakim yang dapat mengadili di tingkat peninjauan kembali (PK).
Apabila dilihat dari hukum acara di ICC, terdapat suatupre trial yang akan menilai apakah suatu kejahatan atau pelaku dapat dibawa ke ICC atau tidak, bertanggung jawab atas otorisasi penyelidikan, meninjau keputusan JPU untuk tidak melanjutkan penyelidikan, menjamin dari hak-hak orang tersebut dan para korban dijaga pada tahap awal, dan Pre trial chamber juga dapat mengambil alih suatu investigasi, mengenai pengambilan kesaksian dari saksi, atau pemeriksaan, pengujian bukti untuk keperluan persidangan. Apabila Pre trial chamber menolak karena ICC tidak memiliki yurisdiksi atas kejahatan atau pelaku tersebut, maka dapat dilakukan upaya banding dan apabila diterima maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya (proses peradilan). Di dalam proses persidangan sendiri, terdakwa diharapkan hadir mengikuti persidangan karena ICC tidak mengenal pemeriksaan secara in absntia. Akan tetapi, in absentia tersebut tidak mutlak apabila terdakwa telah dipanggil secara patut tetapi tetap tidak hadir maka dapat dilakukan in absentia, kecuali apabila terdakwa tidak hadir di persidangan dikarenakan sakit atau karena ada sesuatu hal yang mengakibatkan terdakwa tidak bisa hadir di persidangan maka persidangan harus ditunda sampai dengan waktu yang diperkirakan , terdakwa dapat hadir di muka persidangan. Dalam persdiangan, terdakwa memiliki suatu hak untuk melakukan pengakuan bersalah (hal ini merupakan pengadopsian dari hukum acara di common law system yang mengenal proses hearing), sebagaimana ditegaskan dalam pasal 64 ayat 8 butir a SICC. Apabila Trial berpendapat bahwa semua persyaratan untuk melakukan proses tersebut dipenuhi, maka terdakwa dapat dijatuhi sesuai dengan dakwaan yang didakwakan kepadanya. Setelah melalui proses persidangan sesuai dengan statuta serta hukum acara dan pembuktian maka pada akhirnya mahkamah harus mengambil suatu putusan atas kasus tersebut. Dalam proses pengambilan putusan tersebut, semua hakim diwajibkan untuk menghadiri pada setiap seluruh tahap persidangan dan dalam proses pengambilan putusan tersebut harus adanya aklamasi (putusan bulat) dari majelis hakim yang didasarkan atas evaluasinya terhadap alat-alat bukti yang diajukan dalam seluruh proses persidangan. Di samping itu, Mahkamah dapat memberikan putusan yang berupa restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi. Di dalam ICC juga, tidak dikenal hukuman mati, yang dikenal hanya hukuman seumur hidup atau hukuman penjara paling lama 30 tahun. Sedangkan untuk pidana penjara dapat ditambah dengan pidana tambahan yaitu:
- Denda sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam aturan mengenai hukum acara dan pembuktian.
- Penebusa hasil, kekayaan, dan aset yang diperoleh sesuai hasil baik secara langsung maupun tidak yang diperoleh dari kejahatan yang dilakukannya, dengan tidak melanggar hak-hak pihak ketiga.
Sedangkan berdasarkan mekanisme pengadilan HAM di Indonesia, di dalam Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan di pengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Selain itu, di dalam UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan HAM di luar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM yang berat yaitu ketika adanya suatu pelanggaran HAM berat maka dapat dilakukan penyelidikan menyelidiki atau menerima pengaduan dari korban atau saksi. Komnas HAM yang dapat membentuk suatu tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan masyarakat. Hasil penyelidikan tersebut disampaikan kepada Jaksa Agung yang melakukan proses penyidikan, penangkapan dan penuntutan. Apabila setelah melakukan penyelidikan, Komnas HAM menilai tidak terdapat suatu pelanggaran HAM berat maka terhadap kasus tersebut dapat dihentikan oleh Komnas HAM. Setelah dilakukan penyidikan oleh Jaksa Agung dan Jaksa Agung cukup bukti untuk melanjutkan dari proses penyidikan ke proses persidangan. Di dalam proses persidangan ini tidak terdapat proses hearing sebagaimana yang terdapat di dalam Mahkamah Pidana Internasional. Di dalam persidangan, suatu kasus akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh 5 orang hakim Apabila terhadap kasus pelanggaran HAM berat maka diperlukan waktu paling lama 180hari terhitung sejak perkara dilimpahkan di pengadilan HAM untuk diperiksa dan diadili. Apabila p[erkara tersebut dimohonkan banding, maka dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi. Sedangkan untuk mengajukan kasasi dapat diajukan ke Mahkamah Agung. Sedangkan apabila suatu pelanggaran HAM itu terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 maka kasus tersebut akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc yang hukum acara pemeriksaannya sama seperti yang telah diuraikan di dalam UU No. 26 Tahun 2000. Akan tetapi, perbedaannya yaitu mengenai komposisi hakim, JPU, dan Komnas HAM yang dimana di dalam pengadilan HAM ad hoc disebutkan bahwa masa jabatannya sementara (ad hoc). Jenis hukuman diatur di dalam Bab VII UU No. 26 Tahun 2000 dapat berupa hukuman mati, hukuman penjara seumur hidup, hukuman penjara dalama jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila tidak erbukti bersalah, maka pelaku tersebut dapat dibebaskan. Hal ini berbeda dengan Mahkamah Pidana Internasional, yang tidak mengatur putusan yang berupa pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum. Selain itu, pengadilan HAM di Indonesia memiliki suatu kewenangan untuk memutuskan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban pelanggaran HAM yang berat.

Kesimpulan
Setelah melihat dari berbagai sisi, baik dari latar belakang pembentukan, substansi, hukum acara dan pembuktian antara ICC dengan Pengadilan HAM di Indonesia, di dalam UU no. 26 Tahun 2000 hanya memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Akan tetapi hal tersebut tidak secara lengkap menyesuaikan tindak pidana yang diatur yaitu kajahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida yang seharusnya juga disertai dengan penjelasan mengenai unsur-unsur tindak pidananya (elements of crimes). UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini juga tidak mengatur tentang prosedur pembuktian secara khusus untuk mengadili kejahatan yang sifatnya “extraordinary crimes”. Hal tersebut dalam prakteknya menyulitkan proses peradilan HAM yang mengakibatkan majelis hakim melakukan penafsirkan peraturan sesuai dengan pertimbangan majelis hakim.
Jadi sebenernya UU pengadilan HAM UU No. 26 Tahun 2000 secara substansi banyak melakukan pengadopsian dari norma-norma hukum internasional terutama norma-norma dalam SICC (Rome Statute of International Criminal Court). Akan tetapi hal masih banyak kelemahan yang dikarenakan proses pengadopsian dari instrumen internasional yang tidak lengkap dan mengalami banyak kesalahan. Pengadopsian atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tanggung jawab komando tidak memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam aplikasinya. Kelemahan lainnya adalah tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus dan masih banyak menggunakan ketentuan yang berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Daftar Pustaka
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional II, Hecca Press,
Jakarta, 2004.
Boer Mauna, Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2008.
I Wayan, 2003. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi.
Zainal Abidin, Pengadilan HAM di Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.
Statuta Roma 1998
UU No. 26 tahun 2000

Kamis, 16 Juni 2011

Kedudukan Peraturan Gubernur Jabar No. 12 Tahun 2011 Tentang Larangan Kegiatan Ahmadiyah di Jawa Barat

Indonesia merupakan negara kesatuan yang menerapkan sistem desentralisasi. Dalam perkembangannya desentralisasi terbagi atas otonomi dan tugas pembantuan. Apabila dilihat dari peristilahan “autonomie” yang berasal dari bahasa yunani (autos yang berarti sendiri, nomos yaitu undang-undang) yang berarti perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving). Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundangan (regeling) mengandung pula arti pemerintahan (bestuur). Jadi otonomi berarti hak atau wewenang untuk membuat peraturan sendiri, termasuk pula hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Berdasarkan hal itu, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan di tingkat daerah.
Menurut Prof. Bagir Manan, peraturan perundang-undangan di tingkat daerah dapat diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintahan daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Dalam arti luas, peraruturan perundang undangan di tingkat daerah dapat juga termasuk peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh satuan pemerintah pusat di daerah atau peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah pusat yang berlaku untuk daerah atau wilayah tertentu.
Berdasarkan pasal 7 (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang hierarki peraturan perundang-undangan bahwa Peraturan Daerah termasuk ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Peraturan Daerah dapat meliputi :
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Peraturan perundang-undangan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan atau oleh Kepala Daerah, yakni berupa Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota. Dalam hal ini Keputusan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 146 UU No.32 tahun 2004 seharusnya dikeluarkan dari pengertian peraturan perundang-undangan di tingkat daerah karena keputusan kepala daerah seharusnya dikelompokan sebagai suatu ketetapan. Sehingga yang dapat kita kelompokan sebagai peraturan perundang-undangan daerah yaitu peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Sedangkan di dalam pasal 18 (6) UUD 1945 dikatakan bahwa “Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Dari rumusan tersebut ternyata bahwa salah satu jenis peraturan perundang-undangan di tingkat daerah adalah Perda. Selain Perda masih ada peraturan lain yang dibuat oleh unsur pemerintahan daerah yaitu peraturan Kepala Daerah seperti Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota, dan Peraturan Bupati. Peraturan Kepala Daerah adalah peraturan yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan lainnya. Untuk merealisasikan dari pasal 18 (6) UUD 1945 maka dalam pasal 146 (1) UU No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa “Untuk melaksanakan perda dan atas kekuasaan peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah”.
Dilihat dari proses pembentukan peraturan daerah, adanya penetapan peraturan daerah dilakukan oleh Kepala Daerah dengan mendapatkan persetujuan dari DPRD. Rancangan Perda ini dapat diajukan oleh Kepala Daerah atau DPRD yang kemudian dibahas secara bersama-sama oleh Kepala Daerah bersama DPRD. Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Kepala Daerah menyampaikan raperda mengenai materi yang sama maka yang dibahas adalah raperda yang diajukan oleh DPRD. Dan apabila raperda yang telah disetujui bersama disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi perda. Penetapan perda dilakukan oleh kepala daerah dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu 30hari sejak raperda disetujui bersama oleh DPRD dan kepala Daerah. Dalam hal raperda yang telah disetujui bersama tersebut tidak tidak ditandatangani oleh kepala daerah, maka dalam jangka waktu paling lama 30 hari maka raperda tersebut sah menjadi perda dan diundangkan dalam Lembaran Daerah, sedangkan peraturan Kepala Daerah dimuat dalam berita daerah.
Dilihat dari materi muatan perda berdasarkan pasal 18 (6) UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa substansi peraturan daerah adalah materi mengenai otonomi dan tugas pembantuan. Kemudian apabila kita melihat ke dalam pasal 12 UU No. 10 Tahun 2004 ditetapkan bahwa materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal yang sama mengenai materi muatan Perda diuraikan pula dalam pasal 136 UU No.32 Tahun 2004 yakni sebagai berikut:
(2) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Terdapat perbedaan dari rumusan dalam pasal 18 ayat 6 UUD 1945 dengan rumusan dalam UU No.10 tahun 2004 dan UU No.32 Tahun 2004 yaitu bahwa dalam kedua UU tersebut terdapat rumusan tambahan bahwa Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian materi yang dimuat dalam Peraturan Daerah adalah :
1. Materi mengenai penyelenggaraan otonomi daerah yakni materi yang berhubungan dengan urusan-urusan rumah tangga daerah seperti APBD, susunan organisasi dan tata kerja daerah, perangkat daerah, dsb.
2. Materi yang berhubungan dengan tugas pembantuan karena tugas pembantuan dimintakan kepada Pemerintah Daerah.
3. Materi yang telah diatur dalam peraturan peundang-undangan yang lebih tinggi untuk dijabarkan dalam peraturan daerah.

Mengenai pengertian jenis peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dimaksud dalam praktek banyak menimbulkan masalah, sebab kebanyakan pihak mematok jenis peraturan yang lebih tinggi dari peraturan daerah secara legal diakui adalah apa yang tersirat dalam pasal 7 ayat 1 UU No.10 Tahun 2004 yaitu dari UUD 1945 hingga Perpres. Sementara dalam pasal 7 ayat 4 UU jis Pasal 54 dan pasal 56 masih mengakui keberadaan jenis-jenis peraturan perundang-undangan lain yang dikeluarkan oleh pejabat-pejabat atau badan-badan pemerintahan tingkat pusat seperti peraturan menteri, baik yang sudah ada berupa Keputusan yang harus dibaca sebagai peraturan maupun yang dibentuk sesudah uu no.10 tahun 2004 diundangkan yang kesemuanya berisi peraturan. Misalnya dengan Peraturan Mendagri, apakah dapat dianggap sebagai peraturan yang dapat dijabarkan oleh peraturan daerah.
Sementara itu materi muatan peraturan Kepala Daerah adalah :
1. Penjabaran lebih lanjut ketentuan dalam Perda, baik yang secara tegas diperintahkan untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan Kepala Daerah maupun yang tidak secara tegas diperintahkan.
2. Penjabaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebh tinggi untuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah.
Apabila kita melihat ke dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 Tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat. Menurut saya, Peraturan Kepala Daerah ini sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun dalam pasal 10 ayat 3 UU No. 32 Tahun 2004, terdapat pembagian beberapa urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat yang bukan menjadi kewenangan pemerintah daerah, antara lain:
a. Politik Luar Negeri
b. Pertahanan
c. Keamanan
d. Yustisi
e. Moneter dan Fiskal Nasional; dan
f. Agama
Apabila melihat peraturan tersebut, tentu kita dapat langsung menyimpulkan bahwa peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 tersebut jelas-jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan juga dapat dikatakan telah melanggar asas Lex superior derogat lex inferior. Konsekuensi dari hal tersebut yaitu bahwa peraturan gubernur tersebut tentunya tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mengikat sehingga peraturan tersebut dapat dibatalkan. Akan tetapi apabila kita lihat lebih lanjut dalam ayat 4 disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa. Sehingga Peraturan Gubernur No.12 Tahun 2011 tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan asas Lex Superior derogat Lex Inferior. Akan tetapi Peraturan Gubernur No. 12 Tahun 2011 Tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan daerah dan peraturan yang lebih tinggi. Hal ini diperkut dalam landasan yuridis Peraturan Gubernur No.12 Tahun 2011 yaitu penjabaran lebih lanjut dari UU No. 1/PNPS/1965, UU No. 32 Tahun 2004, PP No. 38 Tahun 2007, SKB 3 Menteri No. 3 Tahun 2008, dll.

Rabu, 15 Juni 2011

Ratifikasi Statuta ICC

Menurut pendapat saya, sebaiknya Indonesia tidak perlu meratifikasi Statuta ICC dikarenakan Indonesia akan menjadi terikat kepada Statuta ICC. Hal ini didasari kepada sifat dari Statuta ICC itu “non-reserved treaty” sehingga seluruh ketentuan dari statuta ICC harus diterapkan dalam sistem hukum pidana nasional. Dengan kata lain, apabila kita meratifikasi statuta ICC maka kita perlu melakukan perubahan yang mendasar kepada sistem hukum pidana nasional. Selain itu terdapat banyak perbedaan sistem hukum antara Statuta ICC dengan KUHP antara lain. Pertama, adanya perbedaan-perbedaan antara unsur-unsur kejahatan yang merupakan kejahatan serius sebagaimana diakui dalam yurisdiksi materil Statuta ICC dengan unsur-unsur kejahatan biasa yang diakui dalam KUHP. Kedua, Tindak pidana yang menjadi yurisdiksi ICC difokuskan kepada tindak pidana yang berkaitan dengan peranan negara dalam kaitannya dengan penduduk sipil. Ketiga, terhadap kejahatan-kejahatan yang diakui dalam yurisdiksi materil ICC tidak diakui daluarsa dan diakuinya ne bis in idem secara terbatas, sedangkan dalam KUHP diakui adanya daluarsa terhadap kejahatan-kejahatan dan diakuinya asas ne bis idem secara mutlak.
Keberadaan dari statuta ICC ini seharusnya kita hormati dan dijadikan sumber inspirasi dalam bagi kalangan pakar hukum dan pemerintah untuk mengembangkan dan meningkatkan peranan hukum nasional dalam menyikapi dan mengantispasi perkembangan HAM di Indonesia. Langkah tersebut sebenarnya telah ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia yaitu dengan adanya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 dimana Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan Genosida telah dikriminalisasikan. Hal tersebut menunjukan bahwa negara kita menghormati dan memberikan perlindungan yang memadai terhadap HAM.
Sebenarnya kedudukan sebuah negara ikut meratifikasi atau tidak meratifikasi Statuta ICC tidak memiliki resiko potensial karena ketentuan dalam Statuta ICC tidak berlaku surut dan tetap menganut asas legalitas yang bersifat universal dan merupakan pelengkap pengadilan nasional (asas komplementaris) serta diperkuat dengan ramb-rambu hukum yang kuat sehingga relatif aman bagi kedaulatan hukum negara peserta. Akan tetapi, yang perlu diwaspadai yaitu dengan dominasi DK PBB lebih kuat dibandingkan dengan negara non anggota PBB sekalipun negara anggota DK PBB tersebut sangat potensial melakukan pelanggaran HAM dibandingkan dengan non negara anggota DK PBB. Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak perlu meratifikasi statuta ICC mengingat perangkat hukum di Indonesia cukup memadai dalam rangka mencegah dan melindungi HAM.