Rabu, 13 April 2011

Kerusuhan di LP: Penyakit menular?

Dalam rentang empat bulan di tahun 2003, terjadi “pergolakan” di beberapa lembaga permasyarakatan (lapas) di Indonesia khususnya pada saat menjelang Hari Raya Idul Fitri (Lebaran). Barangkali perlu penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara kerusuhan di lapas dengan datangnya hari Lebaran. Lokasi kerusuhan tersebut terjadi terutama di lapas Pulau Jawa. Terakhir terjadi di Kota Bandung, tepatnya di lapas Kebonwaru beberapa hari sebelum Lebaran. Ratusan narapidana (warga binaan) nyaris kabur setelah pelemparan dan perusakan genteng, jendela kaca kantor rumah tahanan (rutan), serta menjebol pintu dan dinding sel dekat dapur penjara dan pagar pemisah antarblok dengan kantor rutan. Apabila diamati secara lebih cermat, tampaknya rentetan ‘kerusuhan’ di lapas tersebut tidaklah berdiri sendiri. Seolah-olah rentetan kerusuhan tersebut seperti penyakit menular, yang bersifat patologi sosial. Apabila terjadi kerusuhan di sebuah lapas, bisa seolah-olah lapas lainnya merespons dengan ikut mengadakan kerusuhan.

B. Pembahasan
Setelah melihat artikel di atas, bahwa patologi sosial dapat terjadi dalam lembaga permasyarakatan, penyakit tersebut seolah-olah dapat menular. Menurut Gerald Leiawand dalam buku Prisons (1972) menyebutkan sejumlah penyakit-penyakit penjara (the ill of prison) sebagai berikut:
1. Kekurangan dana;
2. Penghuni yang padat;
3. Keterampilan petugas dan gaji yang buruk;
4. Kekurangan tenaga profesional;
5. Prosedur pembebasan (bersyarat) yang serampangan;
6. Makanan yang jelek dan tidak memadai;
7. Kesempatan memberikan pekerjaan yang konstruktif dan waktu rekreasi yang minim;
8. Kurang memberikan kegiatan-kegiatan yang bersifat mendidik;
9. Hukuman yang lama tanpa peninjauan pengadilan;
10. Homoseksualitas yang keras, kecanduan obat (drug addiction) dan kejahatan di anatar penghuni;
11. Hukuman yang keras dan kejam terhadap pelanggaran aturan;
12. Keterangan rasial.
Dilihat dari artikel diatas kita dapat melihat bahwa begitu banyaknya masalah yang ada di dalam lapas. Untuk menuntaskan permasalahan tersebut kiranya diperlukan suatu mekanisme yang baik guna terselenggaranya pembinaan narapidana agar sesuai tujuan dari pembinaan tersebut. Hal tersebut perlu didukung oleh komponen-komponen yang memadai yang dapat dimulai dari petugas lapas, adanya peraturan yang memadai, dana yang cukup, sarana prasarana, dan sikap dari para narapidana itu sendiri serta adanya sistem pembinaan yang baik.
Menurut mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin yang mengatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya. Selanjutnya pembinaan diharapkan agar mereka mampu memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Kegiatan di dalam LP bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahan dan memperbaiki diri serta tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukan.
Dengan demikian jika warga binaan di LP kelak bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti semula. Fungsi Pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi dan resosialisasi ke dalam masyarakat.
Sistem pembinaan yang baik bagi warga binaan di lapas dapat menjadi tolak ukur apakah warga binaan lapas tersebut dapat menjadi penjahat yang lebih jahat atau tidak.

Sistem pembinaan bagi warga binaan sampai saat ini sudah cukup memadai yang ditunjang dengan adanya UU No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dengan adanya peraturan dan sistem yang memadai tersebut dapat meminimalisir masalah-masalah akan timbul di dalam lapas antar warga binaan seperti kerusuhan. Kerusuhan yang terjadi di lapas dapat menjadi indikator terpenting untuk membedah permasalahan pembinaan warga binaan. Menurut Cesare Beccaria, penyebabnya bukan hanya terletak di dalam proses pembinaan dalam lapas tetapi juga dari luar lapas yaitu bahwa dalam masyarakat itu sendiri tempat persemaian kejahatan.
Menurut Vernon Fox, kerusuhan dan pemberontakan warga binaan tidak mungkin muncul tanpa terkait dengan persoalan nyata yang ada di dalam masyarakat. Permasalahan yang terdapat di dalam lapas begitu luas dimensinya. Untuk menekan timbulnya permasalahan yang terdapat di dalam lapas diperlukan sarana dan prasarana yang memadai seperti:
1. Sarana Gedung Pemasyarakatan
Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan seram penghuninya.

2. Pembinaan Narapidana
Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak berfungsi lagi, atau kalau toh berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang diproduksikan di luar (hasil produksi perusahan).

3. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan.
Selain itu, keberadaan dan peran komponen penting lainnya yang merupakan ‘konsumen’ dari ‘produk’ lapas yaitu masyarakat. Dari sudut sosiokriminologis, masyarakat masih menganggap seorang mantan napi itu akan melakukan kejahatan kembali. Persepsi tersebut yang dapat menghambat proses resosialisasi mantan warga binaan kembali ke dalam lingkungan masyarakat seperti semula. Karena pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi penjara, inilah yang dimaksud proses rehabilitasi.
Sikap masyarakat yang sulit menerima kembali kembali mantan warga binaan menyebabkan proses pembinaan di lapas akan menjadi sia-sia. Padahal sesungguhnya jika dianut kebelakang para mantan warga binaan merupakan masyarakat itu sendiri. Sehingga Cesare Beccaria mengatakan bahwa “setiap masyarakat memiliki penjahatnya sendiri”. Ungkapan tersebut memperjelas bahwa masyarakat bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan yang dibuat oleh anggota masyarakat itu sendiri.
Sehingga diperlukan pasrtisipasi aktif dan rasa empati dari masyarakat apabila masih tetap adanya anggapan yang buruk terhadap mantan warga binaan karena hal tersebut akan dapat menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri seperti mereka mungkin saja dapat melakukan kejahatan kembali atau bahkan dapat menjadi penjahat yang lebih profesional. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena adanya ‘dendam sosial’ atas perlakuan yang didapat dari masyarakat. Selain itu, adanya cap dari masyarakat yang buruk tersebut menyulitkan para mantan warga binaan dalam mendapatkan pekerjaan yang halal serta adanya proses pelepasan bersyarat yang tidak sempurna. Seharusnya proses tersebut melalui mekanisme penyaringan dengan pertimbangan dan saran Dewan Pembina yang benar-benar matang bagi kpentingan warga binaan yang akan diberi pelepasan bersyarat tersebut.


Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, bahwa kerusuhan yang terjadi dalam lembaga pemasyarakatan terjadi disebabkan adanya kejadian yang ada di dalam lapas itu sendiri tetapi juga berakar di luar Lapas. Akan tetapi apabila kita melihat sistem yang berlaku saat ini dalam pembinaan warga binaan cukup memadai yang ditunjang pula dengan adanya UU No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Sehingga menurut saya kerusuhan yang terjadi dalam Lapas disebabkan kualitas pembinaan yang kurang baik. Selain itu, adanya paradigma dalam masyarakat terhadap mantan narapidana mempersulit proses resosialisasi ke dalam lingkungan masyarakat seperti semula.

Saran

Menanggapi permasalahan yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan dan persepsi masyarakat terhadap mantan narapidana, ada beberapa yang ingin saya sampaikan:
1. Adanya suatu sistem yang berorientasi pada nasib para narapidana ketika ia bebas dan kembali kepada masyarakat.
2. Adanya partisipasi dari pemerintah untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap para mantan narapidana





DAFTAR PUSTAKA


Petrus, Irwan Panjaitan. 1995. Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Anwar, Yesmil. 2009. Saat Menuai Kejahatan. Bandung: Refika Aditama.

Perundang-undangan
UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
PP No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

Kekuasaan Kehakiman

Kuliah umum oleh Bagir Manan

Kekuasaan kehakiman terdiri atas 3 lembaga yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Dahulu M. Yamin menyinggung untuk membentuk lembaga yang dapat menguji sutu produk legislatif yaitu Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945, tetapi gagasan tersebut tidak disepakati, sehingga belum ditemukan lembaga tersebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Setelah amandemen Undang-undang Dasar 1945 dilatarbelakangi oleh beberapa pemikiran yaitu adanya unsur-unsur faktual yang berkaitan dengan pemerintahan yaitu:
1. Adanya kekosongan/kefakuman/ Undang-undang yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
2. Terjadi sengketa wewenang antar lembaga negara yaitu pada saat pemerintahan Gus Dur dan adanya keinginan dari Gus Dur untuk mengeluarkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran MPR.
Kedudukan Mahkamah konstitusi pada saat dibentuk menjadi persoalan. Namun, Mahkamah Konstitusi akhirnya menjadi lembaga negara yang berdiri sendiri (Pasal 24 C). Mahkamah Konstitusi adalah pengawal Konstitusi (The Guardian of Constitusion) yang memiliki makna tidak bisa dilepaskan dari kedudukan Undang-undang Dasar sebagai hukum tertinggi di Indonesia. Manakala Undang-undang dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar maka Mahkamah Konstitusi dapat meriview.
Di Perancis, terdapat Conseil Constitutional (Dewan Konstitusi) yang memiliki kesamaan dengan Mahkamah Konstitusi yaitu dapat menguji. Akan tetapi, Dewan Konstitusi ini hanya dapat menguji RUU yang sudah disetujui oleh parlemen tetapi belum disahkan oleh Presiden karena di Perancis terdapat asas “Undang-undang tidak dapat diganggu gugat” dan Dewan Konstitusi ini bukan badan peradilan.
Esensi dari Mahkamah Konstitusi itu ketika kedudukan Mahkamah Konstitusi tidak semata-mata ketika dihadapkan dengan berbagai perkara khususnya dalam “Judicial Review”, Judial Review ini tidak hanya didasarkan kepada nilai-nilai dalam Undang-undang Dasar saja tetapi ada nilai-nilai yang dipertimbangkan di luar itu yaitu prinsip-prinsip hukum umum seperti asas keadilan, asas kepastian, dll. Hal inilah yang dapat dijadikan landasan bagi Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara.
Kenyataannya, putusan Mahkamah Konstitusi lebih mengedepankan nilai-nilai yang ada pada Undang-undang Dasar saja. Padahal Mahkamah Konstitusi merupakan pengawal konstitusi yang konstitusi ini pengertiannya lebih luas dari Undang-undang Dasar saja, sebab Undang-undang Dasar ini hanya termasuk konstitusi dalam bentuk tetulis.
Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan “pertama dan terakhir”. Apabila kita dibandingkan dalam putusan Mahkamah Agung masih ada kemungkinan untuk melakukan upaya hukum terhadapa putusan Mahkamah Agung tersebut yaitu dengan melakukan “Peninjauan Kembali”. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili terdapat dalam Undang-undang no.24 tahun 2003 dan Undang-undang no.4 yahun 2004 yaitu:
1. Mengadili permohonan Judicial Review
2. Mengadili sengketa antar Lembaga Negara
3. Pembubaran Partai politik
4. Perselisihan hasil pemilu
5. Pemakzulan Presiden/Impeachment
Sedangkan asas-asas yang perlu diperhatikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam memutus suatu perkara adalah:
1. Pengujian berkaitan dengan lembaga-lembaga negara yang lain, Mahkamah Konstitusi harus memperhatikan prinsip pembagian kekuasaan.
2. Hakim kedudukannya mengadili menurut hukum dan dalam pertimbangannya harus memperhatikan hukum yang terdapat dalam Undang-undang Dasar dan hukum yang hidup dalam masyarakat.
3. Seorang hakim akan menerapkan peraturan perundang-undangan kecuali ada Undang-undang yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar dan asas-asas umum serta living law.
4. Apabila ada pelanggaran hukum atas hak-hak individu/komunitas yang sifatnya mendasar.
5. Undang-undang yang bersangkutan sangat nyata melanggar hak-hak individu/komunitas.
6. Asas kehati-hatian dengan memperhatikan dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi terhadap manfaat putusan tersebut.
Selain berbicara mengenan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Undang-undang Dasar juga mengenal Komisi Yudisial, yang berwenang mengawasi perilaku hakim (Pasal 24 B) yang dapat dikatakan bahwa Komisi Yudisial ini merupakan polisi para hakim. Namun dalam prakteknya, Komisi Yudisial hanya dapat mengawasi perilaku hakim bawahan saja.

sistem perwakilan rakyat berdasarkan UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan)”

PENDAHULUAN

Pada saat ini telah terjadi perdebatan sistem ketatanegaraan Indonesia yang menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan. Adanya perubahan UUD 1945 yang dilakukan sepanjang tahun 1999-2002 menyisakan sejumlah persoalan terkait perubahan dan perubahan pasal-pasal dalam UUD 1945 hasil perubahan. Persoalan tersebut salah satunya adalah sistem perwakilan. Kehadiran DPD mengubah sisten perwakilan di Indonesia yang dahulu hanya terdiri dari MPR dan DPR. Saat ini, elemen sistem perwakilan Indonesia terdiri dari MPR, DPR, dan DPD.
Berbicara tentang sistem perwakilan di Indonesia berarti mebahas sampai seberapa jauhkah kedudukan MPR, DPR, dan DPD sesungguhnya, dan sistem perwakilan apa yang digunakan di Indonesia? Apakah kita menggunakan sistem monocameral, bicameral, atau tricameral? Tulisan ini akan mencoba membahas mengenai model sistem perwakilan yang diterapkan di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

1.Pengertian Perwakilan dalam Demokrasi Pencasila
Rumusan demokrasi pancasila
Demokrasi Pancasila adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang mengandung semangat Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan Keadilan Sosial. Dari perumusan diatas dapatlah ditarik kesimpulan tercakupnya demokrasi formil di dalamnya. Hal itu ternyata dari kata-kata permusyawarakatan/perwakilan itu tercakup demokrasi formil.
Sebelum perubahan UUU 1945, Indonesia menganut demokrasi indirect democracy. Hal ini tercantum dalam pasal 1 ayat 2 “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Pengertian dari indirect democracy adalah suatu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat itu tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga-lembaga perwakilan rakyat seperti MPR dan DPR. Setelah perubahan pun kita masih menganut indirect democracy. Hal ini tercantum dalam pasal 1 ayat 2 yang sudah mengalami perubahan yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Jadi, dapat kita lihat bahwa saat ini MPR bukanlah Lembaga Tertinggi lagi seperti dulu yang melaksanakan kedaulatan rakyat.
Sebelum perubahan yang ditinjau dari kata-kata permusyawarakatan/perwakilan demokrasi pencasila akan dilaksanakan melalui permusyawaratan dimana setiap warga negara melaksanakan hak-hak yang sama melalui wakil-wakil yang dipihnya dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui proses pemilihan umum yang bebas. Sedangkan, setelah perubahan UUD 1945 yang kita tinjau kembali dari kata-kata permusyawatan/perwakilan demokrasi pancasila dilaksankan melalui permusyawartan dimana setiap warga negara melaksanakan hak-hak yang sama dan rakyat meilih secara langsung wakil-wakilnya untuk duduk di kursi DPR dan DPD.

2. Sistem Perwakilan
Sehubungan dengan dianutnya demokrasi tidak langsung sebagaimana dikemukakan di atas, kita mengenal adanya dua macam sistem lembaga perwakilan rakyat yaitu:
a. Bi cameral system (sistem 2 kamar)
b. Mono cameral system (sistem 1 kamar)

a.Bi cameral system
Sistem ini pada umunya dianut dan dilaksanakan di dalam negara-negara yang berbentuk federal atau yang pemerintahannya berbentuk kerajaan. Di dalam kerajaan sebagaimana kita lihat di Inggris, proses berlakunya sistem 2 kamar adalah sebagai perwujudan dari asas-asas demokrasi. Kita mengetahui bahwa yang semula mempunyai kesempatan untuk ikut serta membicarakan dan menentukan masalah-masalah kenegaraan adalah wakil-wakil dari golongan bangsawan dan gereja. Akan tetapi dengan timbulnya keinginan daripada rakyat banyak, demikian pula dengan adanya perjanjian mengenai HAM, timbulah lembaga-lembaga baru dimana didalamnya duduk wakil-wakil rakyat yang dipilih secara langsung. Sistem dua kamar ini kemudian dianut dan dilaksanakan pada umumnya di negara-negara federal, seperti yang dapat kita lihat di AS, Uni Soviet, dan RIS.
Di AS, pada waktu konstitusinya direncanakan oleh wakil-wakil dari 13 negara di Philadelphia, terjadilah pertentangan antara golongan federasi dan golongan confederasi. Setelah disetujui bersama adanya House of Representative, dimana didalamnya duduk wakil-wakil rakyat yang dipih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat, timbul persoalan tentang bagaimana negara-negara bagian itu dapat mempertahankan existensinya.
Salah seorang peserta, kemudian mengemukakan suatu konsepsi yang briliant, yaitu dengan dicetuskannya suatu gagasan yang kemudian dikenal dengan nama Senate. Sebagai lembaga perwakilan, anggota-anggota senate diambil dari negara-negara bagian dengan jumlah penduduk yang sama, yaitu 2 orang tanpa melihat jumlah penduduk warga negara daripada Negara-negara bagian itu,. Kalau pada mulanya anggota-anggota senate ini, menurut article I, section 3, harus dipilih oleh lembaga perwakilan rakyat masing-masing negara bagian, maka didalam amandemen XVII, para anggota senate tersebut harus dipilih oleh rakyat masing-masing negara bagian.
Ciri-ciri yang terlihat dalam sistem ini yaitu:
1. Di antara lembaga perwakilan rakyat tersebut kedudukannya sederajat
2. Kedua lembaga perwakilan rakyat memiliki tugas dan wewenang sama/tidak berbeda
3. Di antar lembaga perwakilan rakyat ada tidak terdapat rangkap jabatan
Terdapat 2 variasi dari sistem bikameral yaitu: strong bi cameralism, medium bi cameralism atau weak bicameralism. Bikameral kuat terjadi jika masing-masing kekuasaan seimbang dan komposisi kedua kamar terdiri dari perwakilan yang berbeda dengan cara pengisian yang berbeda pula. Jika kekuasaan kedua kamar tidak seimbang, namun komposisi dan cara pengisiannya berbeda atau sebaliknya disebut sebagai bikameral sedang. Sementara itu, bikameral lemah jika kedua kamar memiliki kekuasaan yang tidak seimbang dan komposisi serta cara pengisian kedua kamarnya sama.
Semula, reformasi struktur parlemen Indonesia disarankan oleh banyak kalangan ahli hukum dan politik supaya dikembangkan menurut sistem bikameral yang kuat (strong bicameralism) dalam arti kedua kamar dilengkapi dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan saling mengimbangi satu sama lain. Untuk itu, masing-masing kamar diusulkan, dilengkapi dengan hak veto. Usulan semacam ini berkaitan erat dengan sifat kebijakan otonomi daerah yang cenderung sangat luas dan hampir mendekati pengertian sistem federal. Kebijakan otonomi daerah di Indonesia di masa depan dinilai oleh sebagian besar ilmuwan politik dan hukum cenderung bersifat federalistis dan karena itu lebih tepat mengembangkan struktur parlemen yang bersifat strong bicameralism.
Namun demikian, perubahan ketiga UUD 1945 justru mengadopsi gagasan parlemen bikameral yang bersifat soft. Kedua kamar dewan perwakilan tersebut tidak dilengkapi dengan kewenangan yang sama kuat. Yang lebih kuat tetap DPR, sedangkan kewenangan DPD hanya bersifat tambahan dan terbatas pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Dalam kaitannya dengan fungsi legislatif, misalnya, DPD hanya memberikan pertimbangan kepada DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang sesungguhnya. Seperti yang ditentukan dalam pasal 22C ayat 2, jumlah anggota DPD hanya sepertiga jumlah anggota DPR. Karena itu, banyak orang berpendapat bahwa struktur parlemen indonesia bersifat soft bicameralism atau bikameral yang sederhana. Akan tetapi, jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh struktur partai Indonesia pasca amandemen keempat UUD 1945 sama sekali tidak dapat disebut sebagai sistem bikameral. Pertama, ternyata bahwa DPD sama sekali tidak diberi kewenangan legislatif, meskipun hanya sederhana sekalipun. DPD hanya memberikan saran atau pertimbangan kepada DPR dan sama sekali tidak berwenang mengambil keputusan apa-apa di bidang legislatif. Kedua, Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dengan UU”, tidak seperti di AS yang dikatakan terdiri atas DPR dan Senat, atau Staten General Belanda yang terdiri atas Eerste Kamer dan Tweede Kamer. Ketiga, ternyata lembaga MPR juga mempunyai kewenangan dan Pimpinan tersendiri. Dari kedua hal itu, maka MPR dapat dikatakan sebagai institusi tersendiri, sehingga struktur parlemen Indonesia dapat disebut sebagai parlemen tiga kamar (tricameralism).
Apabila dilihat dari kasat mata, sistem perwakilan di Indonesia seolah-olah menjadi tiga kamar jika dilihat dari eksistensi keberadaan lembaga, dimana MPR memiliki wewenang dan pimpinan tersendiri. Akan tetapi, apabila kita hubungkan dengan proses legislasi maka memang MPR tidak memiliki fungsi legislasi layaknya fungsi legislasi yang terdapat dalam tubuh DPR.
b.Mono cameral system
Dalam sistem perwakilan satu kamar pengisian keanggotaan tidak membedakan jenis perwakilan, sehingga dimungkinkan untuk mengakomodasi perwakilan fungsional. Menurut pendapat Arend Lijpart, bahwa “Legislative power should be concentrated in a single house or chamber”. Sistem perwakilan monocameral adalah dalam negara itu terdapat satu lembaga perwakilan rakyat yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Di antara lembaga perwakilan rakyat tersebut kedudukannya tidak sederajat
2. Kedua lembaga perwakilan rakyat memiliki tugas dan wewenang yang berbeda
3. Di antar lembaga perwakilan rakyat ada terdapat rangkap jabatan

Sebelum Perubahan, Indonesia menganut sistem perwakilan satu kamar. Hal ini dapat kita lihat dan analisis dari ciri-ciri monocameral:
1. MPR merupakan lembaga tertinggi negara sedangkan DPR merupakan lembaga tinggi negara
2. MPR mempunyai wewenang tersendiri yaitu dapat menetapkan GBHN, memilih presiden dan wakil presiden. Sedangkan DPR, dapat menetapkan UU bersama Presiden dan mengawasi Presiden dalam menjalankan pemerintahan.
3. Dilihat dari anggotanya, anggota DPR adalah anggota MPR dan semua gubernur otomatis adalah anggota MPR dari fraksi utusan daerah.
Setelah Perubahan, Indonesia “sedang merujuk kepada sistem bicameral”. Hal ini dapat kita lihat dan analisis dari ciri-ciri sistem bicameral:
1. Kedudukan MPR, DPR, dan DPD sederajat. Tidak ada lagi lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara.
2. Dalam kenyataannya, wewenang tidak sama bahkan MPR memiliki wewenang tersendiri hingga saat ini seperti MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden dan/wapres dan dapat memberhentikan presiden dan/atau wapres dalam masa jabtannya menurut UUD (Pasal 3). Sedangkan DPR dan DPD memiliki wewenang yang berbeda, kewenangan DPD lebih lemah daripada kewenangan yang dimiliki oleh DPR seperti DPR memiliki fungsi legislatif, sedangkan DPD memiliki fungsi legislatif yang terbatas yaitu DPD hanya dapat mengajukan RUU tentang otonomi daerah , hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Jadi dapat dilihat bahwa keberadaan DPD masih belum berperan (pasal Pasal 22D ayat 1)
3. Dilihat dari keanggotaannya masih ada rangkap jabatan yaitu anggota DPR dan anggota DPD adalah anggota MPR. Sehingga akibatnya MPR masih sama seperti dahulu tetapi kedudukannya sejajar dengan DPR dan DPD.
Dalam praktek, penerapan kedua model sistem perwakilan di atas di berbagai negara tidak sepenuhnya dianut secara murni. Terdapat berbagai variasi penerapan kedua model tersebut, bergantung pada sejarah atau kebutuhan tiap negara yang khas. Misalnya, semua negara federal menerapkan sistem bikameral, dimana kedua kamar parlemen digunakan untuk mewadahi perwakilan negara bagian, kecuali negara Comoros. Negara kesatuan lebih memiliki kebebasan untuk memilih sistem perwakilan baik bikameral maupun monokameral. Namun demikian, tidak sedikit negara kesatuan yang menganut sistem bikameral dengan berbagai variasi.

BAB III
KESIMPULAN

Menurut saya, sistem perwakilan di Indonesia sebelum perubahan UUD 1945 menganut sistem monocameral dan setelah perubahan UUD 1945 yang dilihat dari ciri-ciri yang disebutkan, tidak menganut sistem perwakilan baik monokameral maupun bikameral tetapi boleh kita katakan “sedang merujuk kepada sistem perwakilan bikameral” yaitu dengan dibentuknya DPD yang memiliki tujuan dan perimbangan untuk menuju penerapan check and ballances. Sebab, dalam sistem monocameral lebih kepada pembagian kekuasaan (Distribution of Power) sebagai akibat/pengaruh dari pemisahan kekuasaan (Separation of Power) yang tidak dianut dalam UUD 1945. Kebaikan dalam sistem bikameral yaitu pada saat pembahasan undang-undang secara teoritis akan menjadi semakin matang karena melalui dua kamar (dari DPD kepada DPR, begitu pun sebaliknya) tetapi dalam prakteknya tidak begitu. Meskipun Peranan DPD saat ini belum sekuat kewenangan yang dimiliki oleh DPR atau dapat dikatakan kewenangan DPD itu terbatas, tetapi bukan berarti keberadaan DPD ini harus dihapuskan karena DPD merupakan merupakan perwakilan daerah-daerah (sebelum perubahan dikenal dengan adanya utusan daerah dan otosan golongan).
Dilihat secara kasat mata, Indonesia saat ini seolah-olah menggunakan sistem perwakilan tiga kamar (trikameral). Jika dilihat dari eksistensi keberadaan lembaga, dimana MPR memiliki wewenang dan pimpinan tersendiri. Akan tetapi, apabila kita hubungkan dengan proses legislasi maka memang MPR tidak memiliki fungsi legislasi layaknya fungsi legislasi yang terdapat dalam tubuh DPR. Oleh sebab itu, saya kurang setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa Indonesia menggunakan sistem perwakilan tiga kamar


Daftar Pustaka

Asshidiqqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005.
Dwi Harianti, Susi, Reformasi Sistem Perwakilan Indonesia, Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, 2009.
Soemantri, Sri, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni, 1983.
Catatan Kuliah DR. Kuntana Magnar, S.H., M.H.

Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Indonesia merupakan suatu negara kesatuan. Sebagai negara kesatuan yang menggunakan sistem desentralisasi, maka pemerintahan daerah merupakan bagian integral dari pemerintahan pusat dan pengawasan penyelenggaraan terhadap pemerintahan daerah tidak dapat terelakan.Tujuan dari pengawasan ini yaitu untuk menjamin agar terselenggaranya pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan harapan yang telah ditentukan di dalam ketentuan perundang-undangan. Sedangkan jenis-jenis dari pengawasan yaitu pengawasan preventif, pengawasan represif, pengawasan positif dan pengawasan negatif. Penerapan konsepsi pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia dapat kita lihat di dalam satu undang-undang terdapat dua jenis pengawasan sekaligus, sementara undang-undang yang lain hanya menerapkan satu jenis pengawasan. Sementara itu dalam UU No.5 Tahun 1974 dikenal beberapa jenis pengawasan yaitu pengawasan umum, pengawasan preventif, dan pengawasan represif.
Dalam UU No.32 Tahun 2004 memposisikan masalah pengawasan dan pembinaan dalam satu paket. Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pengawasan dan pembinaan Pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila terdapat penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah tersebut. Jadi pengawasan terhadap daerah harus dalam rangka pembinaan terhadap daerah itu sendiri agar tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan yang diharapkan. Sehingga pembinaan dan pengawasan harus menjadi satu kesatuan. Dalam rangka pelaksanaan fungsi pembinaan dan pengawasan tersebut Pemerintah Pusat mengeluarkan PP No.79 Tahun 2005 sebagai pelaksanaan dari UU No.32 Tahun 2004.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 juga diatur mengenai mekanisme pembatalan Perda. Bahwa Perda itu dapat dibatalkan dengan Perpres paling lama 60 hari sejak Perda itu diterima oleh Pemerintah. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, perda itu dibatalkan oleh Keputusan Mendagri. Hal ini sangat logis, pengawasan berupa pembatalan dan/atau penangguhan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah dilakukan oleh Mendagri untuk peraturan yang ditetapkan ditingkat provinsidan oleh Gubernur untuk peraturan yang ditetapkan di tingkat kabupaten/kota. Dalam kaitan dengan fungsi pengawasan preventif Pemerintah Pusat (Mendagri) dapat melakukan evaluasi terhadap Raperda provinsi mengenai APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD. Sedangkan Gubernur dapat melakukan evaluasi terhadap Raperda Kabupaten/Kota tentang APBD dan rancangan peraturan bupati/walikota tentang penjabaran APBD. Dengan demikian bahwa tindakan Pemerintah Pusat (Mendagri/Gubernbur) dapat berupa evaluasi untuk Raperda tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah, berupa pengesahan bagi rancangan peraturan kepala daerah dan pembatalan terhadap perda atau peraturan kepala daerah. Jadi pengawasan preventif dapat dilihat dari evaluasi dan pengesahan, sedangkan pengawasan represif dapat dilihat dari pembatalan.
Komentar:
Menurut saya Indonesia yang menggunakan sistem desentralisasi sudah tepat sebab tiap daerah diberi tanggung jawab untuk mengurus daerahnya sesuai dengan kemampuan daerah tersebut. Supaya pelaksanaan dari sistem desentralisasi itu dapat berjalan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan tetap menjaga kreatifitas daerah otonom untuk berprakarsa maka diperlukan suatu pengawasan dari Pemerintahan Pusat kepada Pemerintahan Daerah. Selain pengawasan juga diperlukan suatu pembinaan yang bertujuan mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Jadi pembinaan dan pengawasan ini harus dalam satu kesatuan yang utuh, tidak boleh terpisah.
Sedangkan apabila saya melihat dalam praktek mengenai mekanisme pembatalan perda, dapat terlihat suatu keganjilan dimana Perda dapat dibatalkan oleh Keputusan Mendagri. Hal tersebut memang logis apabila kita mengatakan bahwa tindakan tersebut mungkin merupakan suatu “pendelegasian” wewenang dari Presiden kepada Mendagri. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat dibenarkan karena tindakan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan dimana pembatalan Perda hanya dapat dilakukan dengan Perpres sehingga apabila suatu Perda yang dibatalkan oleh Keputusan Mendagri maka tindakan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Sehingga disini diperlukan adanya peranan dari masyarakat untuk ikut serta mengawasi kinerja Pemerintahan Daerah.
Selain itu, dalam hal suatu Perda yang dibatalkan akan mengakibatkan adanya suatu kekosongan hukum. Hal ini sangat merugikan masyarakat karena dengan adanya suatu pembatalan maka adanya suatu ketidakpastian dan ketidaktertiban karena kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat suatu daerah tidak terakomidir oleh suatu peraturan yang seharusnya berfungsi untuk menjamin adanya suatu kepastian, keadilan dan ketertiban. Contohnya saja suatu Perda di Sampit yang dibatalkan oleh Mendagri, karena Perda tersebut dianggap bertentangan. Perda yang dibatalkan tersebut mengatur mengenai Minum Keras. Akibat dari pembatalan tersebut peredaran minuman keras di daerah Sampit menjadi tidak terkontrol dan Pembatalan yang dilakukan oleh Mendagri tersebut tidak memliki kekuatan hukum.

BENTUK NEGARA KESATUAN DENGAN SISTEM DESENTRALISASI

Bentuk Negara Kesatuan Dengan Sistem Desentralisasi
Pemerintahan daerah dikembangkan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Asas dekosentrasi hanya diterapkan di daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota yang belum siap atau sepenuhnya melaksanakan prinsip otonomi sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Karena itu hubungan yang diidealkan antara pemerintah pusat dengan daerah provinsi dan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten dan kota adalah hubungan yang tidak bersifat hirarkis. Namun demikian, fungsi koordinasi dalam rangka pembinaan otonomi daerah dan penyelesaian permasalahan antar daerah, tetap dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi sebagaimana mestinya.
Berdasarkan UU No.32 Tahun 2004, pasal 1 angka 5 Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah diharapkan mampu memelihara integrasi nasional dan keutuhan bangsa Indonesia serta dapat mewujudkan hubungan kekuasaan menjadi lebih adil, proses demokrasi di daerah berjalan baik dan adanya peningkatan kesejahteraan di daerah. Setiap daerah memiliki kepercayaan kepada pemerintah pusat yang akhirnya dapat memperlancar pembangunan bangsa melalui keutuhan nasional. Implementasi kebijakan otonomi daerah berimplikasi pada pembangunan daerah. Pembangunan daerah diharapkan terwujudnya kemandirian daerah dalam pengelolaan pembangunan secara serasi, profesional, dan berkelanjutan. Pembangunan daerah merupakan salah satu tujuan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang berbasis kewilayahan dan lingkungan serta berkelanjutan.
Implementasi otonomi daerah memberi dampak positif dan negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Dampak positif yang
menonjol adalah tumbuh dan berkembangnya prakarsa daerah menuju kemandirian
daerah dalam membangun. Dampak negatifnya yang paling mengemuka timbulnya
friksi pusat-daerah dan antar daerah, terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam, kewenangan dan kelembagaan daerah. Salah satu penyebabnya bersumber dari harmonisasi kebijaksanaaan dengan kebijaksanaan otonomi daerah. Akibatnya ketergantungan daerah terhadap Pemerintah Pusat sangat tinggi yang mengakibatkan kreativitas masyarakat lokal berserta seluruh perangkat daerah dan kota menjadi tak terbedayakan sedangkan kebijakan yang represif telah membunuh secara dini aspirasi daerah untuk menuntut keadilan atas kekayaan alam yang dimililiknya.
Tujuan utama Otonomi Daerah adalah tercapainya penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dengan landasan demokrasi yang menitikberatkan pada peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan keanekaragaman asset sosial, ekonomi, dan budaya. Demokrasi partisipatoris menjadi impian Otonomi Daerah karena lebih banyak bertumpu pada kekuatan rakyat, namun di sisi lain masyarakat.
Akan tetapi, Otonomi Daerah menyisakan banyak masalah karena belum tuntasnya peraturan pemerintah tentang petunjuk pelaksanaan dan implementasi yang cepat dan tepat. Penyelenggaraan kebijakan Otonomi Daerah oleh Pemerintah Pusat cenderung tidak dianggap sebagai amanat konstitusi sehingga proses desentralisasi menjadi tersumbat. Otonomi Daerah memberikan keleluasaan dan kewenangan yang besar kepada daerah untuk memberdayakan daerah sehingga akan menimbulkan disintegrasi akibat terkotak-kotaknya daerah tanpa adanya kontrol dari Pusat. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah. Dengan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab yang tetap terjaminnya hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah. Dengan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah Otonom dan karena itu daerah kabupaten maupun kota tidak lagi menjadi wilayah administrasi. Otonomi Daerah diarahkan untuk lebih meningkatkan peranan dan fungsi DPRD, baik sebagai sebagai fungsi legislatif, fungsi kontrol maupun anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah. Dengan demikian setiap daerah kabupaten dan kota berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Selain itu juga agar tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta secara horisontal antar daerah satu dengan daerah yang lain.
Kendala lainnya yang menghambat tercapainya tujuan dari pemberian otonomi daerah adalah masih banyaknya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain itu adanya kesenjangan antar daerah yang secara sosial-budaya sesungguhnya terintegrasi secara historis bisa jadi tercerai berai karena diberlakukannya sistem pemerintahan otonom yang bertumpu pada daerah kabupaten atau kota. Artinya, di daerah lokal akan terkotak-kotak dalam susunan yang sangat kecil (kota dan kabupaten) maka nyata mereka tidak saja secara admistratif dan manajemen terpisah, tetapi secara politik dan ekonomi juga membuka tingkat persaingan dan perebutan asset wilayah luar biasa di masa depan. Pada hal sebelumnya daerah itu terintegrasi secara komprehensif.
Otonomi Daerah diarahkan untuk memperbesar tingkat partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan negara. Di alam modernisasi, partisipasi rakyat memang sering menimbulkan atau memperbesar tingkat intensitas konflik-konflik komunal. Sehingga, perubahan sosial lebih banyak merupakan reinkarnasi dari solidaritas komunal daripada integrasi kelompok-kelompok yang saling berbeda. Otonomi Daerah sering dipahami sebagai bagian politik pusat untuk menguasai daerah. Maka tidak mengherankan sebagian daerah yang lain justru menerjemahkan Otonomi Daerah dengan kemerdekaan. Otonomi Daerah secara teoritis dipandang sebagai upaya mengintegrasikan kepentingan ekonomi dan politik antara Pusat dan Daerah, untuk mengintegrasikan nilai dalam masyarakat yang sedang berkembang, baik melalui strategi yang menekankan pentingnya konsensus dan memusatkan perhatian pada usaha menciptakan keseragaman semaksimal mungkin maupun menekankan interaksi antara kepentingan-kepentingan kelompok dengan kepentingan daerah.
Otonomi Daerah selain optimis juga harus disikapi dengan hati-hati karena berbagai hambatan baik pada tingkat penyelenggara negara maupun pada tingkat masyarakat bawah masih perlu sarana untuk memperlancar arus informasi dan dialog sehingga tercipta pola komunikasi politik yang mampu membangun sebuah
hubungan yang mendorong daerah untuk mandiri.

Kesimpulan

Sistem desentralisasi yang diterapkan di Indonesia saat ini sebagaimana yang tercantum dalam pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan untuk tercapainya penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dengan landasan demokrasi yang menitikberatkan pada peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan keanekaragaman asset sosial, ekonomi, dan budaya. Sehingga adanya kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, dengan adanya pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan dari konsep desentralisasi pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, serta memberikan pelayanan kepada masyarakat secara lebih optimal sesuai dengan karakteristik yang ada di wilayahnya. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa kendala yang mengakibatkan tujuan dari pemberian otonomi daerah itu belum tercapai yaitu setiap daerah memiliki sumber daya alam dan kondisi geografis yang berbeda-beda sehingga adanya kesenjangan antar daerah. Selain itu adanya korupsi yang dilakukan oleh pemerintah daerah juga ikut mendorong tidak tercapainya tujuan pemberian otonomi daerah.

Saran

Dengan melihat permasalahan tersebut, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan yang sekiranya dapat mengeliminasi beberapa faktor yang tidak diinginkan yaitu:
1. Pelibatan masyarakat akan memperkecil faktor resistensi masyarakat terhadap kebijakan daerah yang telah diputuskan. Ini dapat terjadi karena sejak proses inisiasi, adopsi, hingga pengambilan keputusan, masyarakat dilibatkan secara intensif.
2. Pelibatan masyarakat akan meringankan beban pemerintah daerah (dengan artian pertanggungjawaban kepada publik) dalam mengimplementasikan kebijakan daerahnya. Ini disebabkan karena masyarakat merasa sebagai salah satu bagian dalam menentukan keputusan tersebut. Dengan begitu, masyarakat tidak dengan serta merta menyalahkan pemerintah daerah bila suatu saat ada beberapa hal yang dipandang salah.
3. Pelibatan masyarakat akan mencegah proses yang tidak fair dalam implementasi kebijakan daerah, khususnya berkaitan dengan upaya menciptakan tata pemerintahan daerah yang baik.
4. Sumber daya Aparatur Pemerintah Daerah yang mempunyai orientasi baru sesuai dengan tuntutan global.

5. Kepemimpinan yang memberikan keteladanan.

6. Peningkatan kemampuan birokrasi pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalm menciptakan lapangan kerja dan menyediakan pendidikan yang murah dan berkualitas.



Daftar Pustaka

Manan, Bagir, Hubungan Antara Pemerintah pusat dan Daerah Menurut UUD
1945, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1994.
Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI: Jakarta, 2005.
UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
UUD 1945