Jumat, 19 Agustus 2011

Catatan Hukum Dagang FH UNPAD

Dosen :
1. Prof. Dr. H. Man Suparman S., SH., SU.
2. Lastuti Abubakar, SH., MH.
3. R. Kartikasari, SH., MH.

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG (KUHD)
Sejarah
• Mula-mula pada masa Romawi belum dikenal adanya Hukum Dagang (WvK), maka yang berlaku adalah hukum tidak tertulis para pedagang itu sendiri.
→ di Perancis lahir Ordonance de Commerce dan Ordonance de la Marine.
→ ditindaklanjuti dengan kodifikasi Hukum Romawi dalam Code Civil (Hasil kodifikasi Kaisar Yustianus, yaitu Corpus Iuris Civilis) dan Code du Commerce, dikodifikasi dalam WvK/ Wetboek van Koophandeling (Code civil; KUHPerdata).
→ KUHD dan BW/ KUHPerdata kemudian oleh Belanda diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi (pasal 131 jo. 163 IS).
• Pada abad pertengahan → kelas/kelompok pedagang → code civil tidak memadai muncul peraturan diluar code civil → yang disebut hukum pedagang (koop mans recht) → hukumnya tidak tertulis dan lokal. → perkembangan selanjutnya jadi tertulis dan bentuknya statuta.
• Pada masa perkembangan perdagangan di Prancis :
 Tahun 1673 M : kodifikasi → ordonance du commerce.
 Tahun 1681 M : ordonance du la marine, mula-mula berlaku untuk pedagang, selanjutnya berlaku untuk setiap orang.
 Pada tahun 1807 M : dibentuk code commerce berasal dari ordonance du commerce dan ordonance dula marine.
• Hukum Dagang merupakan bagian hukum perdata atau hukum privat, yaitu keseluruhan hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perorangan. Pembagian hukum perdata dalam KUH Dagang dan KUH Perdata → bukan pembagian asasi → diketahui dari pasal 1 KUHD.
• Hubungan KUHPerdata dan KUHD :
- Sumber terpenting dari KUHD adalah KUHPerdata (bukti; pasal 1 KUHD)
- KUHD adalah KUHPerdata (Hukum perdata) khusus yang diberlakukan dalam hal perdagangan. Sehingga berlaku asas lex specialis derogat lex generalis, dengan konsekuensi bahwa :
a. Apabila KUHD tidak mengatur, maka KUHPerdata dapat diberlakukan.
b. Apabila KUHD dan KUHPerdata mengatur, maka yang berlaku adalah KUHD.
Dasar hukumnya adalah pasal 1, 15, 396 KUHD, dst.

Riwayat KUHD
• 1/01/1809
code de commerce (Perancis)→ Nederland merupakan jajahan Perancis berlaku di Nederland ↓
setelah Nederland merdeka
(Belanda)
• 1 Oktober 1838 diundangkan WvK dengan mencontoh code de commerce

• 30 April 1847 Stbl. 1847 : no 23 untuk Indonesia ditetapkan WvK (KUHD) dengan staatsblad 1924 : no 557, KUH Perdata berlaku bagi golongan Timur asing lainnya dan golongan Tionghoa.
• BW dan WvK dengan asas konkordansi (penjajah ke jajahan) diberlakukan di Indonesia.
• Pasal 131 IS jo. 163 IS mengatur hukum yang berlaku, yaitu BW dan WvK cabang :
I untuk golongan Eropa: berlaku sepenuhnya
II Timur asing
III Bumi Putra

Dasar Berlakunya BW dan WvK
• Setelah Indonesia merdeka melalui pasal II AP UUD ’45 → BW dan WvK berlaku.
• Asas bahwa BW dan WvK berlaku bagi golongan Eropa bagi golongan lain dengan jalan dinyatakan berlaku dan penundukan diri.
Bagaimana Dengan SEMA No 3/1963 ?
“gagasan menganggap BW tidak sebagai UU” MA menganggap tidak berlaku.
Pasal 108, 110, 28 (3), 1682, 1579, 1238, 1460, 1603 → secara tegas dianggap tidak berlaku tidak sesuai dengan Indonesia yang telah merdeka.
• Titik tolak BW secara keseluruhan bersifat kolonial
- apakah tidak ada ketentuan yang sifatnya universal
• Kalau BW dianggap kolonial, mengapa dipertahankan sebagai kelompok hukum tidak tertulis?
- sikap yang menganggap BW tidak berlaku sebagai Undang-undang. Wenangkan MA meniadakan dengan SE (Surat Edaran) ( MA lembaga yudikatif).
→ praktek peradilan tidak formalitas membuta pada BW, mengikuti perkembangan.

Bentuk Hukum Nasional
• Antara lain :
- kodifikasi
- kompilasi (KHI)
- ketentuan-ketentuan yang terlepas
• pendapat tentang kodifikasi hukum perdata dan hukum dagang
- dibuat 2 kodifikasi masing-masing
- dibuat satu kodifikasi
• Belanda sudah melakukan kodifikasi dengan New BW (NBW)
1919, 1339, 15 KUHD
(keterkaitan KUHD dan KUHPdt)

Hubungan antara BW (KUHPerdata) dengan WvK (KUHD)
• Sumber terpenting dari hukum dagang adalah BW, dan hal ini dapat dilihat dari pasal 1 KUHD yang menerangkan :
“untuk hal-hal yang diatur dalam WvK sepanjang tidak ada peraturan khusus yang berlainan, juga berlaku peraturan-peaturan dalam BW”
→ diakui sebagi hubungan hukum khususnya hukum umum (lex special derogat legi generalis).

Maksud asas tersebut :
1. Bilamana KUHD (WvK) tidak mengatur, maka KUHPdt (BW) bisa diberlakukan.
2. Bilamana KUHD dan KUHPdt sama-sama tidak mengatur maka yang berlaku KUHPdt.
→ ketentuan umum mengesampingkan ketentuan khusus.

Sumber hukum
• Antara lain :
1. Sumber hukum tertulis
- Yang dikodifikasikan; BW dan WvK (KUHD)
- Yang tidak dikodifikasikan; Undang-undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas (Undang-undang PT), Undang-undang No. 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, Undang-undang No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, dll.
2. Sumber hukum tidak tertulis
Yaitu kebiasaan (dasar hukumnya; pasal 1339, 1346, 1347 KUHPerdata)
3. Yurisprudensi
Merupakan sumber hukum tetapi tidak memiliki kekuatan mengikat.
4. Perjanjian-perjanjian Internasional/ traktat
Missal; GATT, WTO, TRIPs, dsb.
5. Doktrin
Merupakan sumber hukum yang berasal dari ajaran maupun pendapat dari ahli hukum, namun tidak memiliki kekuatan mengikat. Contoh: tentang status firma.
Hubungan Hukum Dagang Dan Hukum Ekonomi
1. Kegiatan dagang dan kegiatan perusahaan merupakan kegiatan ekonomi
2. Hukum dagang mengatur kegiatan privat sampai dengan hukum ekonomi lahir akibat turut campurnya pemerintah dalam masalah perdagangan.
• Alasan penghapusan pasal 2 sampai dengan 5 KUHD :
 Yang dibahas objeknya hanya barang bergerak saja tetapi pada kenyataannya objeknya juga ada barang tetap.
 Penyebutan istilah pedagang, karena yang melakukan perniagaan tidak hanya pedagang sedang dalam KUHD yang melakukan perdagangan hanya pedagang.

Inti Hukum Dagang
• Antara lain :
1. Pedagang
2. Perbuatan dagang
3. Perikatan dagang
• Alasan pasal 2 s/d 5 KUHD dicabut :
1. Pengertian barang pada pasal 3 KUHD hanya meliputi barang bergerak, sehingga jual beli barang tidak bergerak tidak tunduk pada pasal 2 s/d 5 KUHD.
2. Pengertian perbuatan perdagangan dalam pasal 3 KUHD hanya meliputi perbuatan membeli, sedangkan menjual adalah tujuan dari perbuatan membeli. Sedangkan pada pasal 4 KUHD bahwa perbuatan menjual juga termasuk dalam perbuatan perdagangan, misal; menjual wesel, jual beli kapal, dsb.
3. Menurut ketentuan pasal 2 KUHD, bahwa perbuatan dagang hanya dilakukan oleh pedagang, padahal pada pasal 4 KUHD juga termasuk komisioner, makelar, pelayan, dsb.
4. Jika terjadi perselisihan antara pedagang dan bukan pedagang mengenai pelaksanaan perjanjian, KUHD tidak dapat diterapkan karena KUHD hanya diberlakukan bagi pedagang yang pekerjaan sehari-harinya melakukan perbuatan dagang.

PEMBUKUAN
Dasar hukum
• Dasar hukumnya adalah pasal 6 s/d 12 KUHD.

Fungsi pembukuan
• Antara lain :
1. Fungsi yuridis; sebagai alat bukti di Pengadilan.
2. Fungsi ekonomis; mengetahui laba/rugi.
3. Fungsi administrasi; memperlancar proses administrasi perusahaan.
4. Fungsi fiscal; menjadi dasar acuan bagi pengenaan pajak.

Dokumen perusahaan
• Dokumen perusahaan adalah data, catatan, keterangan yang dibuat oleh perusahaan atau diterima oleh perusahaan, baik yang tertulis maupun terekam dalam bentuk apapun.
• Dokumen perusahaan terdiri dari : neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan modal, dan laporan harga pokok produksi.
• Neraca adalah daftar yang berisikan semua harta kekayaan, utang-piutang, dan saldo perusahaan.
• Laporan perubahan modal adalah ikhtisar perubahan modal yang terjadi selama periode satu tahun.
• Akuntansi adalah suat proses pencatatan data keuangan yang diterima maupun dibuat oleh perusahaan.
• Unsur-unsur perusahaan, antara lain :
1. Terus-menerus
2. Terang-terangan
3. Dalam kualitas atau kedudukan tertentu
4. Mencari keuntungan atau laba
• Perbedaan pengertian menjalankan perusahaan dengan menjalankan pekerjaan adalah :
- Dalam menjalankan pekerjaan tidak ada laba.
- Dalam menjalankan pekerjaan tidak dibebankan pembukuan.

PEDAGANG PERANTARA
• Yang diatur dalam KUHD adalah makelar dan komisioner.
• Diluar KUHD (dalam praktek), antara lain; pedagang keliling, pemegang prokurasi, dan afiliasi.
• Dalam perkembangan; agen, distributor.
• Perantara Dagang : pihak-pihak yang mengikatkan diri kepada prinsipal (pemberi tugas) untuk melakukan perbuatan hukum atas nama prinsipal.
• Prinsipal : pihak yang meminta adalah menyuruh perantara melakukan perbuatan hukum untuknya .
• Hubungan antara “perantara dagang” dengan “prinsipal” adalah hubungan keperantaraan.
• Latar belakang timbulnya perantara :
Karena perkembangan ekonomi seorang pengusaha tidak bisa melakukan sendiri maka dia memerlukan perantara.
• Dasar hubungan prinsipal dan perantara :
1. Adanya pemberian kuasa (1792 BW sd 1819 BW)
adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seseorang lain yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (1972).
Kuasa ada 2 : kuasa khusus → untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
kuasa umum → dibuat untuk mewakili segala macam urusan.
Catt : penerima kuasa tidak boleh melakukan perbuatan melebihi yang dikuasakan.
2. Perjanjian perburuhan (1601(a) KUHPdt)
Adalah persetujuan/perjanjian dengan pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahnya pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.
3. Perjanjian pemborongan pekerjaan (1601(b) KUHPdt)
• Jenis-jenis perantara
 Perantara dalam perusahaan
1. pimpinan perusahaan → dalam hal ini yang bukan pemilik.
2. pemegang prokurasi → perantara dalam perusahaan yang mewakili owner untuk menyelenggarakan satu bidang urusan.
3. pengurus filial → pihak adalah perantara dalam perusahaan yang mewakili pengusaha di satu wilayah tertentu (pimpinan cabang).
4. pekerja keliling → perantara dalam perusahaan yang melakkukan pekerjaan atas nama prinsipal membuat perjanjian-perjanjian dengan pihak ke-3.
contoh : bagian pemasaran/marketing/sales.
5. pelayan toko → mewakili pengusaha untuk melayani pihak ke 3 di toko.
o Hubungan antara prinsipal dengan perantara dalam perusahaan :
- Hubungan perburuhan (ada atasan ada bawahan)
- Pemberian kuasa
 Perantara dagang diluar perusahaan
1. Agen perusahaan : perantara/ pihak yang mengikatkan diri dengan beberapa prinsipal untuk melakukan perbuatan hukum tertentu.
o Terdapat hubungan distribusi (sejajar) dan hubungan kuasa, hubungan tetap (selama perjanjian berlangsung), hubungan koordinasi.
2. Notaries : adalah pejabat/ pihak yang berwenang membuatkan akta.
o Terdapat hubungan kuasa.
o Terdapat hubungan pelayanan berkala/tidak tetap bisa juga tetap.
o Terdapat hubunan koordinasi.
3. Pengacara : pihak yang mewakili prinsipal untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum.
o Dasar pengacara bertindak adalah adanya kuasa.
o Terdapat hubungan pelayanan tetap (corporate lawyer) dan tidak tetap terdapat hubungan koordinasi.
4. Makelar : pihak yang melakukan perbuatan hukum untuk pihak lain (62-73).
Sebelum bekerja makelar harus diangkat (Menteri Keuangan) dan disumpah (PN setempat), bila tidak diangkat dan disumpah disebut makelar tidak resmi/calo.
Makelar berkewajiban menyimpan sample sampai berakhirnya perjanjian.
Makelar apabila menjual/membeli harus menjamin sahnya tanda tangan.
Makelar wajib membuat pembukuan (pasal 6 KUHD, UU No. 8/1997 → dokumen perusahaan)
Hubungan : Penerima kuasa biasa → bila tidak resmi
Contoh :
- Bila prinsipal pailit padahal perjanjian belum selesai
Makelar tidak bisa dituntut karena makelar tersebut bertindak atas nama prinsipal dalam hal meneruskan perjanjian.
Si prinsipal digantikan oleh curator yang memberikan penilaian, bila layak maka perjanjian akan dilanjutkan/dihentikan.
- Bila makelar pailit maka diterusakan oleh prinsipal sampai/selama sample masih ada tanda tangan yang sah, jika sample hilang/tanda tangan tidak sah, makelar bisa diminta pertanggungjawaban.
Hubungan prinsipal dan makelar : Pemberian kuasa dan perjanjian berkala.
5. Commissioner (pasal 76-85 KUHD)
Adalah seorang yang menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan menutup persetujuan atas nama firma atau dia sendiri tetapi atas amanat dan tanggungan orang lain dan dengan menerima upah atau profit tertentu.
Commissioner tidak perlu disumpah dan diangkat.
Commisioner punya tanggung jawab besar maka ada jaminan dari prinsipal untuk memberi komisi yang lebih kalau perbuatannya berlangsung dengan sukses (del credere) prinsipal pasa commisoner disebut comiten.
C (prinsipal comiten) ↔ A (comisioner) ↔ B (penjual).
C memberi kuasa pada A untuk membeli ↑, tapi uang tidak cukup tapi ↑ sudah ditempati Maka A punya hak retensi (hak untuk menahan barang), jadi ↑ masih di A karena menggunakan uang A.
Hubungan yang terjadi :
- Pemberian kuasa
- Hubungan berkala
Apabila C pailit maka berlaku hak preference (hak diutamakan/ diistimewakan) untuk A jadi A bukan hanya kreditur konkuren.
6. Expeditur (80 s/d. 90 KUHD)
Adalah orang atau pihak yang pekerjaannya menjadi tukang menyuruhkan kepada orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan baik darat dan laut.
Expeditur : bertanggung jawab sampai barang tiba di tujuan → memiliki armada pengangkut. Bila tidak ada maka si penguasa menuntut → expeditur menuntut → maskapai pengangkutan → asuransi (setiap pengiriman barang terdapat asuransi).
7. Perantara dalam jual beli dalam pasar modal (pialang)
- Dapat menjual/membeli saham atas nama sendiri adalah orang lain
- Kalau untuk orang lain maka bertindak sebagai perantara.
Investor beli ≠ pialang beli ↔ pialang jual ≠ investor jual.

Makelar
• Dasar hukumnya adalah pasal 62 KUHD dan 1792 KUHPerdata.
• Makelar adalah seorang pedagang perantara yang diangkat oleh pejabat yang berwenang, menjalankan perusahaan dengan mendapat keuntungan (upah/ provisi) dan bertindak atas nama pemberi amanat/ prinsipal (pasal 62 KUHD).
• Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (pasal 1792 KUHPerdata).
• Konsekuensi yuridis :
1. Antara prinsipal dan pihak ke-3 (bukan makelar) berhak saling menuntut dalam pemenuhan prestasi (karena terjadi perwakilan langsung), begitu juga antara prinsipal dengan makelar.
2. Apabila makelar tidak diangkat oleh pejabat yang berwenang, maka yang berlaku hanya ketentuan pemberian kuasa.

Komisioner
• Dasar hukumnya adalah pasal 76 KUHD.
• Komisioner adalah seorang yang menjalankan perusahaan dengan mendapatkan provisi dan bertindak atas namanya sendiri untuk menjalankan amanat orang lain.
• Konsekuensi yuridis antara lain ;
1. Antara prinsipal/komiten dan pihak ke-3 (bukan komisioner) tidak dapat saling menuntut dalam pemenuhan prestasi (karena tidak terjadi perwakilan langsung; maka berlaku pasal 1340 KUHPerdata), namun antara prinsipal dengan komisioner tetap dapat saling menuntut.
2. Apabila komisioner bertindak masuk atas nama prinsipal, maka yang terjadi hanyalah pemberian kuasa (pasal 79 KUHD).

Pedagang keliling
• Pedagang keliling adalah pembantu pengusaha yang bekerja keliling diluar toko/ kantor untuk memajukan perusahaan, dengan mempromosikan barang dagangan atau membuat perjanjian antara pengusaha dan pihak ke-3 (calon pelanggan).
• Fungsinya adalah mewakili pengusaha memajukan perusahaan dengan kerja keliling diluar toko/ kantor.
• Dasar hukumnya yaitu pasal 1792 KUHPerdata mengenai pemberian kuasa; pasal 1601 KUHPerdata mengenai perjanjian perburuhan (majikan dan buruh), dan Undang-undang perburuhan.
• Hubungan hukum; tenaga kerja (buruh) yang bersifat subkoordinatif.

Pemegang prokurasi
• Pemegang prokurasi adalah pemegang kuasa dari pengusaha untuk mengelola satu bagian besar/ bidang tertentu dari perusahaan.
• Fungsinya adalah pengelola bagian besar/ bagian tertentu dari perusahaan.
• Dasar hukumnya yaitu pasal 1792 dan 1601 KUHPerdata dan Undang-undang perburuhan.
• Hubungan hukum; tenaga kerja (buruh) yang bersifat subkoordinatif.

Pengurus Filial (afiliasi)
• Pengurus Filial adalah pemegang kuasa yang mewakili pengusaha menjalankan perusahaan dengan mengelola satu cabang perusahaan yang meliputi daerah tertentu.
• Fungsinya adalah memimpin cabang yang mewakili pengusaha mengelola cabang perusahaan.
• Dasar hukumnya yaitu pasal 1792 dan 1601 KUHPerdata dan Undang-undang perburuhan.
• Hubungan hukum; tenaga kerja (buruh) yang bersifat subkoordinatif.

Agen Perusahaan
• Agen perusahaan adalah orang yang mewakili pengusaha untuk mengadakan dan melaksanakan perjanjian dengan pihak ketiga atas nama pengusaha.
• Mempunyai hubungan tetap dan koordinatif dengan pengusaha.

Distributor
• Distributor adalah orang yang mewakili pengusaha untuk mengadakan dan melaksanakan perjanjian dengan pihak ketiga atas nama dirinya sendiri.
• Mempunyai hubungan tetap dan koordinatif dengan pengusaha.
• Distributor hampir memiliki kesamaan dengan komisioner sedangkan agen memiliki kesamaan dengan makelar.

BADAN USAHA
• Skema : Tentang Badan Usaha









Pasal 1618-1652 KUHPdt
Pasal 1338 (1) → asas kebebasan berkontrak

Perusahaan dagang
• Perusahaan dagang adalah perusahaan yang didirikan oleh satu orang.
• Merupakan perusahaan perorangan, yang dilakukan oleh satu orang, yang merupakan pengusaha, misal PD. X (bukan perusahaan daerah).
• PD merupakan bentuk perusahaan perorangan.
• Bentuk perusahaan perorangan secara resmi tidak ada, tetapi diterima dalam praktik
• Perusahaan perorangan bukan BH/ perkumpulan tapi dalam lingkungan hukum dagang dibentuk dalam suasana hukum keperdataan, untuk menjalankan usaha.
• Pendirian berdasarkan praktek kebiasaan masyarakat perdagangan di Indonesia.
• Unsur-unsurnya adalah antara lain :
- pengusaha perorangan
- timbul dalam praktek
- lingkup keperdataan
- pendiriannya berdasarkan kebiasaan
• Prosedur pendirian Perusahaan Dagang :
- Ada akta pendirian → syarat formal
- Izin usaha
- Izin tempat, izin bangunan
- Pendaftaran di PN
• Dasar pengaturan perusahaan
- Perusahaan yang diatur dalam KUHPdt :
 Perusahaan perorangan
 Persekutuan perdata (1618-1652)
- Perusahaan yang diatur dalam KUHD: Fa, CV, PT (PT. sekarang diatur dalam UU No. 1/1995).

Persekutuan
• Persekutuan adalah perusahaan yang didirikan oleh dua orang atau lebih dengan modal besar (pada umumnya) untuk mencapai tujuan.
• Unsurnya antara lain :
- Ada kepentingan yang sama
- Kehendak yang sama
- Tujuan yang sama
- Adanya kerjasama
• Alasan orang melakukan kerjasama
- Untuk memudahkan tercapainya suatu tujuan.
- Untuk memperoleh laba sebesar-besarnya.
• Macam-macam persekutuan yang bukan badan hukum
- Persekutuan perdata (maatschap)
- Persekutuan firma
- Persekutuan comanditer (CV)
• Persekutuan berbadan hukum
- PT
- Koperasi
- Yayasan
- Dll
• Syarat-syarat badan hukum
- Syarat materil
- Syarat formil
• Syarat materil
- Ada modal tertentu/ sendiri dipisahkan dari kekayaan pribadi.
- Mempunyai organisasi yang teratur → pengurus, pengawas, RUPS.
- Tanggung jawab terbatas pada modal yang disetor.
- Tujuan tertentu.
• Syarat formil
- Adanya akta pendirian (notaris).
- Pengesahan oleh menteri.
- Pendaftaran di kepaniteraan Pengadilan Negeri.
- Pengumuman.
• Persekutuan perdata
- Dasar pengaturan pasal 1618-1652 KUHPdt
- Pengertian: dilihat dari pasal 1618 KUHPdt
 Perjanjian persekutuan dapat tercapai hanya dengan kata sepakat saja.
• Unsur-unsur :
- Perjanjian.
- Adanya inbreng → barang, uang, tenaga kerja.
- Pembagian keuntungan.
• Pendirian PP : KUHPdt tidak menentukan, tetapi dari pasal 1642 KUHPdt dapat disimpulkan dapat didirikan dengan lisan dan cukup dengan kata sepakat.
• PP akan belaku :
- Sejak perjanjian sempurna (merupakan perjanjian konsensuil).
- Ditentukan dalam perjanjian.
Maatschap
• Maatschap adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya (pasal 1618 KUHperdata).
• Terdapat 3 unsur penting, yaitu :
- Perjanjian
- Masukan (inbreng)
- Tujuan membagi keuntungan
• Terdapat dua jenis hubungan :
1. Hubungan intern (ke dalam)
- Bahwa setiap sekutu mempunyai kewajiban memberikan inbreng (berupa; uang, barang atau tenaga), yaitu :
• Uang (pasal 1626).
• Barang (kepemilikan fisik, manfaat).
(menurut pasal 1625 KUHPdt, menanggung bila ada gugatan, cacat tersembunyi, sementara itu sehubungan dengan manfaat harus dikaitkan dengan resiko kecuali barang disertakan bebas resiko.
• Tenaga, bila PP memperoleh keuntungan, maka sama dengan sekutu yang memasukan uang atau barang yang paling sedikit.
• Asas kepentingan bersama (kepentingan persekutuan harus diutamakan) bila dikaitkan dengan pasal 1628, 1629 dan 1630 KUHPdt
- Adanya kepentingan bersama yang dibagi secara berimbang (pasal 1628, 1629, 1630 KUHPerdata)
- Dalam akta pendirian sudah ditentukan kepengurusannya (gerant statutoire), yang ditunjuk berdasarkan pemberian kuasa.
2. Hubungan ekstern (ke luar)
- Masing-masing sekutu bertanggung jawab terhadap kesalahan/ kelalaian sekutu lainnya sepanjang ada pemberian kuasa (pasal 1642 KUHPerdata).
- Tanggung jawab yang sama rata (pasal 1643 KUHPerdata).
- Tanggung jawab masing-masing anggota (pasal 1644 KUHPerdata).
- Hak atas perusahaan perdata atas prestasi (pasal 1645 KUHPerdata).
• Berakhirnya Maatschap; pasal 1646 KUHPerdata :
1. Daluarsa
2. Musnahnya objek atau perbuatan telah dilaksanakan
3. Kehendak para sekutu
4. Salah satu sekutu meninggal dunia/ ditaruh dibawah pengampuan/ dinyatakan pailit; (pasal 1651 KUHPdt, Persekutuan Perdata dapat berdiri tanpa ahliwaris bila diperjanjikan).
• Akibat berakhirnya maatschap; setiap anggota berhak mengambil apa yang disetor, sisa harta berupa laba dibagi menurut ketentuan Undang-undang, selanjutnya untung dan rugi ditanggung bersama (Bila PP merugi maka ditanggung menurut ketentuan yang diperjanjikan atau bila tidak diperjanjikan diatur dalam pasal 163 KUHPdt).

Firma (Fa)
• Firma dasar hukumnya yaitu : Buku I, Bag II Bab II dalam pasal 16 s/d 35 KUHD.
• Firma adalah tiap-tiap persekutuan yang didirikan untuk menjalankan sesuatu perusahaan dibawah satu nama bersama.
• Firma adalah persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan atas nama bersama, dimana tiap-tiap persero yang tidak dikecualikan satu dengan yang lainnya dapat mengikat firma dengan pihak-pihak ketiga dan masing-masing bertanggung jawab atas seluruh hutang firma secara tangung menanggung (16 sd 18 KUHD).
 Menurut pasal 1 jo pasal 15 KUHD : segala perseroan diatur oleh :
- Perjanjian para pihak
- KUHD
- KUHPdt
• Unsurnya meliputi :
- Persekutuan
- Menjalankan perusahaan (terus menerus dan terang-terangan)
- Menggunakan nama bersama dari sekutu
- Tanggung jawab sekutu pribadi untuk seluruh perikatan firma
- Tiap sekutu berhak mengumumkan dan berhak bertindak keluar. Arti dari bertindak keluar, yaitu :
a. mengikat sekutu lain
b. suatu perolehan menjadi harta Fa dan otomatis kepunyaan semua,
• Menurut Prof. Soekardono merupakan persatuan perdata khusus.
• Firma merupakan persekutuan khusus, apabila didirikan tidak dengan akta maka merupakan firma umum (karena bidang usahanya yang tidak ditentukan), dengan konsekuensi yuridis :
- Firma tersebut berdiri dengan waktu yang tidak terbatas.
- Bidang usaha yang dijalankan berlaku umum.
- Setiap firmant bebas bertindak keluar (tidak ada pengecualian).
- Masing-masing persero bertanggung jawab renteng (pasal 18 KUHD).
• Hubungan para sekutu :
Intern : KUHD tidak mengaturnya, namun berdasar pasal 15 KUHD dapat berlaku KUHPdt bila AD (Anggaran Dasar) tidak menentukan lain, dalam hal ini akan berlaku pasal 1624 sd pasal 1641 KUHPdt, merupakan hukum yang mengatur (kecuali pasal 1634 dan 1635 KUHPdt) dalam hal ini ada kemiripan dengan maatschap.
Ekstern :
- Tiap persero yang tidak dikecualikan dapat bertindak.
- Dalam batas kewenangan.
• Pertanggungjawaban dalam Fa → pasal 18 KUHD berupa :
Langsung
Tiap-tiap persero betanggung jawab penuh atas perjanjian yang dibuat oleh pihak ke-3 (disebut tanggung jawab solider). Contoh : Fa. ABC melalui persero A membeli barang pada X dalam hal ini X dapat menagih kepada :
- A atau B atau C saja
- A dan B secara bersama
- ABC bersama-sama
• Kekayaan berupa tenaga → modal terkecil
• Menurut pasal 18 KUHD tanggung jawab merupakan syarat mutlak, berdasar hal ini maka dapat dinyatakan bahwa Fa bukan badan hukum.
• Perjanjian FA dengan pihak ke-3 mengikat langsung untuk seluruh secara tanggung menanggung, dan terhadap anggota masing-masing bertanggung jawab renteng jo pasal 1619 KUHPdt.
• Konsekuensi dari Fa bukan BH (Badan Hukum), maka bila ada putusan hakim ternyata hutang piutang ke III tidak terpenuhi, pihak ketiga dapat menuntut piutangnya terhadap kekayaan semua anggota.
• Anggota pendirian Fa berfungsi untuk mengatur hubungan intern (pasal 22 KUHD), akta ini harus didaftarkan pada panitera PN dan diumumkan dalam berita negara bila tidak didaftarkan menurut pasal 29 : Fa berlaku untuk waktu tidak tertentu untuk semua kegiatan usaha, serta tindakan pembatasan terhadap para anggota.
• Berakhirnya Fa :
- Bubar karena waktunya berakhir.
- Pengunduran diri/ meninggal salah satu anggota.
• Dalam hal Fa pailit, maka sama dengan kepailitan anggota sebab pinjaman Fa sama dengan pinjaman anggota yang ditanggung harta pribadi.

Persekutuan Komanditer (CV)
• Persekutuan Komanditer merupakan perseroan secara melepas uang (pasal 19 KUHD), merupakan bentuk khusus dari firma.
• Pengaturan CV bersamaan dengan firma. (CV = Fa yaitu bukan BH, bahkan dikatakan sebagai bentuk khusus dari Fa).
• Yang melepas uang adalah atau disebut dengan komandit/ sekutu pasif, dan yang mengurus uang adalah atau disebut komplementer/ sekutu aktif.
• CV dapat menjadi firma apabila komplementernya lebih dari satu, sehingga membentuk sekutu (Firma dalam CV).
• Ciri khas daripada CV antara lain :
- Nama komandit tidak boleh dipakai
- Tanggung jawab komplementer secara renteng, sedangkan tanggung jawab komandit terbatas.
• Komandit dapat melakukan pengawasan tetapi kalau ia turut campur, maka secara hukum menjadi sekutu komplementer.
• CV merupakan bentuk peralihan dari firma menuju PT.
• Syarat-syarat badan usaha yang berbadan hukum :
1. Syarat materil :
a. Harta kekayaan yang terpisah.
b. Mempunyai organisasi yang teratur.
c. Tanggung jawab terbatas (pada modal yang disetor).
d. Tujuan tertentu (mencari laba).
2. Syarat formil :
a. Didirikan dengan akta pendirian yang dibuat Notaris.
b. Mendapat pengesahan dari Departemen yang ditunjuk.
c. Harus didaftarkan.
d. Diumumkan.
• Dalam CV dikenal sleeping partner yaitu persero yang memasukan harta pada CV serta tidak mencampuri urusan perusahaan dan hanya akan mendapat labanya saja (pasal 19 KUHD).
• Tanggung jawab anggota dibedakan diantara pengurus.
• Terdapat larangan bagi anggota CV :
- Memberikan namanya pada persero
- Melakukan perbuatan-perbuatan
- Bekerja dalam perusahaan dari perseroan
• Anggota CV akan menerima laba, akan tetapi juga akan menanggung rugi dengan uang dan barang yang telah dimasukkan pada CV, selanjutnya bila perseroan bebas, maka ia akan menerima kembali uangnya, kecuali bila tidak ada sisa.
• Kekhususan CV dari Fa : peraturan CV berada dalam pengaturan Fa, sebab dasarnya merupakan bentuk khusus dari Fa, kekhususannya terletak pada adanya CV, sedang pada Fa hanya ada persero kerja (firmanti). Jadi dalam CV disamping ada perseroan komanditer juga ada persero kerja juga sekutu komanditer (sleeping partner).
• Bentuk-bentuk keberadaan perseroan komplementer dan komanditer :
- Satu orang → perusahaan dagang
- 2 orang atau lebih → firma
- komanditer → PT
• Dasar peraturan CV pasal 19, 20, 21 KUHD serta ketentuan KUHPdt tentang maatschap.
• Modal CV terdiri dari : inbreng sekutu komanditer dan komplementer serta harta kekayaan pribadi persero komplementer.
• Pendirian CV :
 Menurut pasal 1624 KUHPdt dapat dilakukan secara lisan dengan kata sepakat.
 Dengan akta otentik (pasal 22 KUHD), karena CV variasi Fa dan PT maka :
- Didirikan dengan akta otentik
- Didaftar di kepaniteraan
- Diumumkan dalam TBN-RI (Tambahan Berita Negara-RI)
• Kepengurusan :
- Pengurusan perseroan dilakukan oleh persero komplementer.
- Sekutu komanditer tidak boleh ikut mengurus (walaupun dengan surat kuasa).
- Perseroan komanditer dapat mengawasi perseroan secara intern (jika diperjanjikan) sesuai pasal 21 KUHD.
• Tanggung Jawab :
- Tanggung jawab persero komanditer pribadi untuk keseluruhan perikatan dari CV, konsekuensinya dapat mengadakan hubungan dengan pihak III.
- Perseroan komanditer bertanggung jawab sebesar jumlah yang dimasukan.
- Persero komanditer akan bertanggung jawab untuk keseluruhan perikatan dengan pihak ke III, bila ikut serta dalam kepengurusan.
• Berakhirnya CV :
- Telah lewat waktu
- Kehendak seorang adalah lebih persero
- Kehendak bersama persero
• Bila seorang persero meninggal, pailit adalah dibawah pengampunan, kecuali ditentukan dalam perjanjian.

PERSEROAN TERBATAS (PT)
Definisi
• PT adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya (pasal 1 ayat (1) Undang-undang PT).
• Perbedaan pengaturan PT antara Undang-undang PT dengan KUHD :
Bahwa dalam UUPT terdapat beberapa hal yang tidak dijumpai atau diatur dalam KUHD, yaitu :
1. Menggunakan prinsip hukum asing.
2. Secara tegas diatur mengenai PT sebagai badan hukum.
3. Secara tegas menyatakan bahwa PT didirikan berdasarkan suatu perjanjian.
4. Pengaturan tentang modal diatur secara tegas.
5. Ada tanggung jawab tidak terbatas yang menyimpangi tanggung jawab terbatas yang ada dalam KUHD.
6. Ada perlindungan terhadap saham minoritas.
7. Pengaturan mengenai merger, akuisisi, dan konsolidasi diatur secara tegas, dll.

Asas-asas
• Antara lain :
1. Asas musyawarah untuk mufakat (pasal 74 UUPT).
2. Asas piercing the corporate veil (pasal 3 ayat (2) UUPT)
Penerobosan terhadap tanggung jawab terbatas sebagai salah satu ciri badan hukum.
3. Asas derivative action/ divition of power/ shifting of power (pasal 81, 32 ayat (1) UUPT).
Penyerahan kewenangan kepada orang lain melalui RUPS.
4. Asas put option with appraisal right (pasal 55 jo. 104 ayat (2) UUPT)
Pemilik saham minoritas dapat menjual sahamnya dengan wajar sesuai harga pasar. Merupakan fungsi perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas.
5. Asas disclosure obligation (pasal 87, 99, 111 ayat (6) UUPT).
Kewajiban transparansi bagi direksi terhadap perseroan (pasal 87 UUPT).
Kewajiban transparansi bagi komisaris terhadap perseroan (pasal 99 UUPT).
Kewajiban transparansi bagi direksi, komisaris, dan seluruh karyawan guna pemeriksaan di Pengadilan (pasal 111 ayat (6) UUPT).
6. Asas fiduciary duty (pasal 89 UUPT)
Memberikan kuasa untuk melakukan perbuatan hukum.
7. Asas duty of skill and care (pasal 85 ayat (1) dan 98 ayat (1) UUPT)
Kewajiban setiap anggota, direksi, komisaris untuk bekerja dengan penuh itikad baik dan tanggung jawab (pasal 98 ayat (1) UUPT).
Kewajiban komisaris untuk bekerja dengan penuh itikad baik dan tanggung jawab (pasal 85 ayat (1) UUPT).

Organ
• Organ PT diatur dalam pasal 1 ayat (2) UUPT, antara lain :
1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
2. Komisaris
3. Direksi

Pendirian
• Pendirian PT, yaitu :
1. Dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia (pasal 7 ayat (1) UUPT).
2. Berdasarkan perjanjian (pasal 1 ayat (1) UUPT), terdiri minimal 20 orang (pasal 7 ayat (3) UUPT).
3. Akta pendirian memuat Anggaran Dasar (AD) (pasal 7 jo. pasal 8 UUPT)
4. Berstatus badan hukum setelah disahkan oleh Menteri Kehakiman.

Pengesahan PT
• Diatur dalam pasal 7 ayat (6) jo. pasal 9 UUPT, yaitu :
1. Permohonan tertulis.
2. Dilampirkan akta pendirian.
3. Jawaban pengesahan dalam tempo 60 hari (dikabulkan atau ditolak).
• Sebelum disahkan maka berlaku pasal 11 UUPT.
• Jika sudah disahkan tapi belum diumumkan maka konsekuensi yuridisnya → pasal 7 ayat (6) dan pasal 11 UUPT.

Pendaftaran
• Diatur dalam pasal 21 UUPT.
• Bila disahkan maka Direksi wajib mendaftarkan akta pendirian beserta surat pengesahan dalam daftar perusahaan dalam tempo 30 hari.

Pengumuman
• Diatur dalam pasal 21 UUPT, yaitu :
1. Di dalam Tambahan Berita Negara
2. Dilakukan dalam tempo 30 hari setelah pendaftaran,
Pendaftaran dan pengumuman berfungsi untuk mengikat pihak ketiga, secara intern maka sudah berlaku tanggung jawab terbatas, tapi dalam kapasitas ekstern tidak berlaku.

RUPS
• Terdiri dari :
1. RUPS biasa (pasal 26 ayat (1) UUPT)
2. RUPS luar biasa.
RUPS untuk mengubah Anggaran Dasar (pasal 75 UUPT) → quorum > 2/3 yang hadir (yang hadir minimal 2/3 dari jumlah anggota).

Saham
• Harus memenuhi syarat-syarat, antara lain :
1. Ada jenisnya,
2. Harus memiliki nilai nominal (pasal 42 UUPT)
3. Diberikan bukti kepemilikan (sertifikat) (pasal 44 UUPT)
4. Hak deviden dan hak suara dalam RUPS (pasal 45, 46, 47, 72 ayat (1) UUPT).
5. Nama pemegang harus tercantum dalam daftar pemegang saham (pasal 86, 87 UUPT).
• Terdiri dari dua jenis (menurut UUPT) :
1. Saham atas nama (opnaam); tercantum nama pemilik.
2. Saham atas tunjuk (aan order); tidak tercantum nama, harus disebut saham atas tunjuk (aan toonder), ettapi ada juga saham atas tunjuk dimana dengan hanya menunjukkan maka dapat diketahui.
• Konsekuensi perbedaan nama ini (berakibat hukum pada pengalihan);
- Dalam saham atas tunjuk, maka dengan hanya pengambilalihan saja telah berganti kepemilikan.
- Dalam saham atas nama, maka untuk berganti kepemilikan, maka harus ada perubahan nama terlebih dahulu (endosnaam).

Modal
• Terdiri dari :
1. Modal dasar; minimal Rp. 20.000.000,-
2. Modal ditempatkan; 25 % dari modal dasar.
3. Modal disetor; 50 % dari modal ditempatkan.

Pembubaran
• Diatur dalam pasal 114 UUPT, antara lain karena :
1. Keputusan RUPS
2. Jangka waktu berdiri telah habis
3. Penetapan Pengadilan

AKUISISI, MERGER, DAN KONSOLIDASI
Akuisisi (Pengambilalihan/ Take Over)
• Dasar hukum pasal 103 – 105 UUPT dan PP No. 27 Tahun 1998 Tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas.
• Akuisisi adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih, baik seluruh atau sebagian besar saham perseroan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut (Pasal 2 angka 3 PP No. 27 Tahun 1998).
• Alasan akuisisi; beberapa perusahaan mengalami kesulitan berkembang, baik karena kekurangan modal maupun manajemen perusahaan yang lemah yang membuat mereka tidak mampu bersaing.
• Tujuan akuisisi, yaitu :
1. Memperbesar modal,
2. Menyelamatkan kelangsungan produksi,
3. Mengamankan jalur distribusi,
4. Mengurangi persaingan serta menuju kepada monopolistic.
• Jenis-jenis akuisisi, antara lain :
1. Ditinjau dari segi kekuasaan perseroan
a. Akuisisi internal; adalah akuisisi terhadap perseroan dalam kelompok/ grup sendiri.
b. Akuisisi eksternal; adalah akuisisi terhadap perseroan dari kelompok lain, baik sejenis maupun tidak sejenis.
2. Ditinjau dari segi keberadaan perseroan
a. Akuisisi finansial; adalah akuisisi terhadap satu atau beberapa perseroan tertentu dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan finansial dengan jalan memperbaiki kondisi perseroan-perseroan tersebut.
b. Akuisisi strategis; adalah akuisisi dengan tujuan untuk menciptakan sinergi berdasarkan pertimbangan jangka panjang.
Akuisisi ini mempunyai tiga tipe yaitu :
1. Akuisisi horizontal; terhadap perusahaan yang memiliki tipe sejenis, yaitu untuk memperluas pasar.
2. Akuisisi vertical; terhadap perseroan yang memiliki produk tidak sejenis, yaitu untuk menguasai mata rantai produksi.
3. Akuisisi konglomerasi; terhadap perseroan yang tidak ada kaitannya dalam hal produksi, yaitu untuk membentuk konglomerasi baru yang lebih besar.
• Akibat hukum akuisisi adalah beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut.

Merger (Penggabungan)
• Dasar hukum; pasal 102, 104 – 109 UUPT dan PP No. 27 Tahun 1998.
• Merger adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada, dengan demikian menyebabkan perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar (tanpa likuidasi.
• Alasan dan tujuan sama dengan akuisisi.
• Akibat hukum merger; sejak tanggal penandatanganan Akta Penggabungan, Direksi yang perseronya menggabungkan diri tidak dapat melakukan perbuatan hukum karena perseroannya telah bubar.

Konsolidasi (Peleburan)
• Dasar hukum; pasal 102, 104 – 109 UUPT dan PP No. 27 Tahun 1998.
• Adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan perseroan lain dengan membentuk perseroan baru, di mana masing-masing perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar (tanpa likuidasi), sehingga membentuk perusahaan baru.
• Alasan dan tujuan sama dengan akuisisi dan merger.
• Akibat hukum; sejak tanggal Akta Pendirian perseroan hasil peleburan disahkan oleh Menteri Kehakiman, perseroan yang meleburkan diri bubar.

Syarat-syarat :
• Syarat-syarat akuisisi, merger, dan konsolidasi :
Hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan :
1. Kepentingan perseroan
2. Kepentingan pemegang saham minoritas
3. Kepentingan karyawan perseroan
4. Kepentingan kreditur
5. Kepentingan masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
• Tidak mengurangi hak pemegang saham minoritas untuk menjual sahamnya dengan harga yang wajar.
• Pemegang saham yang tidak setuju dengan keputusan RUPS mengenai akuisisi, merger atau konsolidasi tersebut hanya dapat menggunakan haknya untuk menjual sahamnya dengan tidak menghentikan proses pelaksanaan akuisisi, merger, atau konsolidasi.
• Harus mendapat persetujuan RUPS, yang dihadiri oleh pemegang saham minimal ¾ dari jumlah seluruh pemegang saham dengan hak suara yang sah dan disetujui minimal ¾ dari jumlah suara tersebut.
Holding Company
• Holding company merupakan perusahaan kelompok dimana terdapat sebuah perusahaan induk yang menaungi beberapa perusahaan (anak perusahaan), yang secara yuridis antara perusahaan-perusahaan tersebut merupakan kesatuan entitas (masing-masing perusahaan anak/induk) berdiri sendiri, tetapi secara ekonomis merupakan kesatuan perusahaan.

Modal Ventura
• Perusahaan yang menanamkan investasi ke perusahaan lain selama jangka waktu tertentu dan tidak boleh kurang dari 5 tahun (biasanya 5 s/d 10 tahun).
• Setelah jangka waktu berakhir dilakukan divestasi (pengembalian modal).
• Investor bukan kreditur.
• Dalam hal ini investasi tidak hanya modal tapi juga management.
→ digunakan untuk membiayai perusahaan-perusahaan yang mempunyai kemam-puan untuk maju dikemudian hari, contoh : apple computer, Microsoft.

Perusahaan Kartu Kredit
• Dalam kartu kredit ada pihak penerbit dan bekerja sama dengan Bank.
• Ada pihak pemegang kartu kredit.
• Ada perantara → jasa penagihan.

Perusahaan Pembiayaan Konsumen
• Perusahaan pembiayaan konsumen
• Konsumen
• Supplier

Sekuritas Company
• Tidak semua piutang surat berharga begitu juga kebalikannya.

Jual Beli Dagang
• Objek jual beli : barang dan jasa.
• Jual beli perdata : - Tidak hanya barter tetapi juga telah menggunakan uang.
- Jual beli yang diatur oleh KUHPerdata.
• Jual beli dagang : tidak hanya melibatkan pembeli dan penjual tetapi juga meng-gunakan syarat-syarat beding → dikenal istilah pengangkutan.
Dikenal istilah LC ( letter of credit), FOB (free on board), UCP (uniform customs of packlist) 500, CIF.
Didalam LC terdapat beberapa pihak :
- Pengekspor → kredit → berupa LC → diteruskan ke Bank koresponden (diluar negeri) → menginformasikan kepada eksportir → membuat dokumen-dokumen :
- adosement (dokumen pokok) → B/L
- asuransi
- terdapat factor (invoice) → komersial, packing list
mencari perusahaan pengangkut → dokumen fotokopi (dititipkan)
asli → diberikan ke bank koresponden.
Bank Koresponden → membayar ke issueing bank → ke importir → setelah menerima dokumen.
Dokumen ditukarkan ke perusahaan pengangkutan (dokumen ini merupakan surat berharga) → mencocokkan dokumen (fotokopi dan asli) → barang diserahkan.
• Kalau syarat perdagangan FOB : kewajiban penjual membiayai barang sampai barang tersebut di kapal. Dan tanggung jawab eksportir lepas sekarang menjadi tanggung jawab importir.
• Beding, syarat-syarat dalam jual beli dagang :
Incoterm (2000) : - Ex work → penjual menyerahkan barang di gudang
- F FOB → penjual menyerahkan barang sampai di kapal.
FAS → penjual menyerahkan barang sampai di dermaga.
- C C&F → penjual menyerahkan barang sampai di kapal + biaya pengangkutan.
CIF → penjual menyerahkan barang (sama dengan FR) + asuransi.
- D DDU → penjual menyerahkan barang sampai diatas alat angkut pembeli
DDP → penjual menyerahkan barang sampai ke tujuan (negara) + biaya-biaya lainnya.

INCOTERM = Internasional Commercial Term (ICT)
Sudah dipergunakan sejak 1936, revisi 1953, 1967, dst. Dan Inggris sudah memakainya sejak abad 17.

Incoterm + UCP 500
• L/C yang red clause. Bank akan membayar lebih dulu ke penerima sebelum dokumen-dokumen pengangkutan diserahkan.
• Akomulasi revolving L/C : 1 L/C dapat dipergunakan untuk beberapa kali kredit.
Contoh : dalam 1 tahun (12 x pengiriman) jumlahnya diakumulasikan (bisa berbeda tiap bulan)
• Non-akumulasi revolving L/C : 1 L/C dapat dipergunakan untuk beberapa kali kredit.
Contoh : dalam 1 tahun (12 x pengiriman) 1 x pengiriman 1 M tapi tiap bulan harus tetap, bila berkurang akan dituntut atas kerugian.
• Sight L/C : eksportir telah dapat menerima pembayaran dari Bank apabila telah dapat menunjukkan dokumen pendukungnya.
• Pihak-pihak yang terlibat kredit berdokumen :
- opening bank = issuing bank
- koresponden bank = advising bank
- importir
• Surat berharga : bila seseorang memiliki B/L maka dianggap sebagai pemilik barang
• BANI tidak menutup kemungkinan pihak luar menggunakan lembaga ini.
• Arbitrase : - ad hoc → ada sengketa dibentuk, tidak ada sengketa bubar.
- institusi → permanent.
• Pasal 1 KUHD → dasar bagi kekhususan hukum kepailitan (formil dan materil).

INCOTERM 2000
• Incoterm dibuat oleh ICC (International Chamber of Commerce).
• Indonesia tidak meratifikasi Incoterm, tapi penggunaannya adalah menjadi kebiasaan internasional.
• Berlaku apabila perusahaan Indonesia bertransaksi dengan perusahaan asing.
• Incoterm ada untuk :
1. Me-minimize adanya perbedaaan persepsi.
2. Memberi acuan dalam menafsirkan terms (klausula-klausula yang dipakai).
3. Menentukan apa yang menjadi hak dan kewajiban pembeli dan penjual dalam melakukan transaksi.
• Terdiri dari terms, yaitu :
1. Grup E – Departure,
(Pembeli datang ke gudang penjual).
2. Grup F – Main carriage unpaid,
(Penjual mengirimkan barang sampai tempat yang ditentukan pembeli).
FCA (Free Carrier) s/d FOB (Free on Board Ship).
3. Grup C – Main carriage paid,
(Penjual mengirimkan barang tanpa menanggung resiko kerusakan yang terjadi selama pengiriman).
CFR (Cost & GFreight) s/d (Carriage & Insurance Paid To)
4. Grup D – Arrival,
(Penjual menanggung semua resiko sampai perbatasan negara).
DAF (Delivery at Frontier) s/d DDP (Delivered Duty paid).
5. Grup O – Other Trading Term and Variations,
EXF (Ex Factory), PAF (Packed at Factory), dsb.

KEPAILITAN
Dasar Hukum
• Dasar hukum kepailitan adalah Faillissement verordening (Fv) Stbl. 1905 No. 217, Undang-undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan yang bersifat mengubah dan menambah.

Pengertian
• Hakikat kepailitan adalah sebagai lembaga penyelesaian utang.
• Tidak ada pengertian utang dalam Undang-undang, tetapi menurut Yurisprudensi (MA) bahwa utang adalah setiap kewajiban yang dapat disetarakan dengan uang. Utang disini adalah utang yang lahir antara lain karena; jasa, perikatan, pinjam-meminjam, sewa-menyewa.

Fungsi
• Fungsi kepailitan adalah untuk menjamin agar penyelesaian utang piutang tersebut berjalan sesuai prosedur hukum, memberikan kepastian bagi seluruh kreditur.

Pihak-pihak
• Pihak-pihak dalam kepailitan :
a. Yang dapat mempailitkan :
- Debitur
- Kreditur
- Jaksa (untuk kepentingan umum)
- Bank Indonesia
- Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)
b. Yang dapat dipailitkan :
- Orang
- Badan hukum (non bank dan non perusahaan efek)

Syarat kepailitan
• Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-undang kepailitan, antara lain :
1. Debitur dalam keadaan berhenti membayar.
Debitur disini adalah :
- Orang perorang.
- Istri dalam mana suaminya terkait apabila dalam perkawinannya secara harta persatuan.
- Badan usaha.
2. Minimal ada dua kreditur dan salah satunya sudah jatuh tempo.
3. Dengan permohonan (sendiri atau kreditur).

Asas-asas
• Asas-asas dalam Undang-undang kepailitan, diantaranya :
- Asas perlindungan yang seimbang (pasal 56A Undang-undang Kepailitan).
Memperkenankan penundaan eksekusi selama 90 hari → (kritik; dengan dapat ditangguhkannya ini, maka menghalangi hak kreditur separatis untuk mengeksekusi hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dengan seolah-olah tak terjadi kepailitan sebagaimana diatur dalam pasal 56 (1) Undang-undang Kepailitan).
- Asas tidak semua kreditur harus menyetujui debitur untuk dipailitkan,
Hal ini dilihat dan dinilai kewajarannya oleh Hakim.
- Asas kesempatan bagi debitur untuk memperbaiki,
- Asas putusan Pengadilan harus dapat persetujuan para kreditur,
- Asas status quo,
Sejak dimulainya pengajuan PKPU, semua dalam keadaan diam (stenseel), dengan maksud untuk menghindari perbuatan yang dapat merugikan dari debitur terhadap kreditur. Kreditur dapat membatalkan perbuatan-perbuatan debitur setelah putusan PKPU.
- Asas Undang-undang harus menghormati pemegang hak separatis/ pemegang jaminan.
- Asas kepailitan harus diputus secara cepat, dll.

Akibat hukum
• Akibat hukum yang lahir dari putusan pailit :
1. Terhadap harta kekayaan; sebelum pailit, boedel ada pada debitur, maka sesudah pailit ada pada kurator.
2. Terhadap sita jaminan; maka sita tersebut harus diangkat/ dicabut, terhadap sita revindicatoir adalah tetap karena tidak berkaitan dengan benda debitur.
3. Terhadap perjanjian timbal balik antara debitur dengan pihak ke-tiga; bersifat kasuistik dalam arti perjanjian tersebut boleh dibatalkan, boleh juga diteruskan.
4. Terhadap tindakan-tindakan debitur yang diduga merugikan para kreditur; dapat dibatalkan dengan syarat pada pasal 41 → pasal 42 a s/d f Undang-undang kepailitan; actio pauliana.
• Pengadilan yang berhak mengadili perkara kepailitan adalah Pengadilan Niaga, yang merupakan bagian dari pengadilan umum.
• Penasehat yang dalam perkara kepailitan adalah penasehat yang mendapat izin praktek (pasal 5).

Fase-fase
• Fase-fase dalam proses kepailitan, yaitu :
1. Fase sekestrasi (penitipan) :
- Membentuk panitia para kreditur sementara;
- Menginventarisasi kreditur dan tagihan;
- Memohon penetapan;
- Rapat verifikasi, menghasilkan :
a. kreditur dengan tagihan yang diakui;
b. kreditur dengan tagihan yang diakui sementara (harus diselesaikan segera);
c. kreditur dengan tagihan ditolak;
- Dapat ditawarkan perdamaian,
2. Fase insolvensi (pelelangan) :
- Semua harta kekayaan debitur akan dieksekusi dan hasilnya akan dibagikan kepada para kreditur sesuai imbangan pemasukan/ inbreng.
- Apabila ada sisa utang, maka dikemudian hari dapat ditagih kembali (pasal 190 Undang-undang kepailitan → kedudukan debitur).

Proses beracara
• Permohonan pailit diajukan ke panitera Pengadilan Negeri oleh penasehat hukum yang memiliki izin praktek → Ketua Pengadilan Niaga (1 x 24 jam) → (2 x 24 jam) dipelajari Pengadilan Niaga dan menetapkan hari sidang → (maksimal 20 hari setelah pendaftaran) sidang pemeriksaan → penundaan sidang (25 hari) → pemanggilan oleh panitera kepada debitur (7 hari sebelum sidang I) → (30 hari sesudah pendaftaran) putusan atas pernyataan permohonan paiilt; bersifat serta merta → (2 x 24 jam setelah putusan) Pengadilan Niaga menyampaikan surat dinas tercatat kepada debitur, kreditur, kurator, Hakim pengawas → selama putusan atas permohonan pailit belum ditetapkan; sita jaminan dan menunjuk kurator → upaya hukumnya adalah (langsung) kasasi ke MA.
• Proses tingkat kasasi :
→ (8 hari sejak putusan) diajukan ke panitera Pengadilan Niaga → wajib mengirimkan memori kasasi ke panitera dan salinannya ke terkasasi → (maksimal 1 x 24 jam) panitera wajib mengirim permohonan kasasi dan memori kasasi ke terkasasi → (7 hari sejak menerima) terkasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi → (14 hari sejak didaftarkan) panitera menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi, kontra memori kasasi ke panitera MA → (2 x 24 jam) MA mempelajari dan menetapkan hari sidang → (20 hari sejak didaftarkan) sidang I → (30 hari) putusan → putusan yang telah berkekuatan hukum tetap → PK (Peninjauan Kembali) ke MA.

Putusan pailit
• Putusan kepailitan dinyatakan dengan vonis (bukan dengan penetapan karena ada akibat hukum baru, sedangkan penetapan hanya menetapkan hal yang sudah ada), sifatnya sumir dan serta merta.
• Upaya hukum yang dapat dilakukan :
- Kasasi ke MA; pasal 8 (1) Undang-undang Kepailitan;
- PK terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang/ Serseance van Getalling/ Suspension of Payment (PKPU)
• Diatur pada pasal 212 Undang-undang Kepailitan;
• Secara implicit memberikan kesempatan kepada debitur untuk melakukan restrukturisasi utang.
• Syarat PKPU; harus diajukan ke Pengadilan.
• Segera setelah permohonan diajukan, maka Hakim harus mengabulkan penundaan sementara kewajiban pembayaran utang dan dalam waktu paling lama 45 hari, sidang pengadilan sudah harus mempertemukan debitur dan kreditur (apabila akan disertakan perdamaian, maka harus termuat dalam permohonan dan disampaikan 21 hari sebelum sidang I tersebut), dan setelah dikabulkan PKPU secara tetap , maka dengan perpanjangannya (terhitung sejak penundaan sementara kewajiban pembayaran utang dengan perpanjangan tidak lebih daripada 270 hari → pasal 217 ayat (4) Undang-undang kepailitan).
• Akibat hukumnya, maka debitur dapat melakukan pengurusan perusahaan.
• Perbedaan antara Undang-undang Kepailitan dengan Fv, yaitu :
Segi Waktu :
- Undang-undang Kepailitan; debitur tak dapat (diduga) (pasal 212).
- Fv; Debitur menduga.
Segi pengajuan :
- Undang-undang Kepailitan; ditandatangani oleh debitur dan penasehat hukumnya (pasal 213 ayat (1)).
- Fv; ditandatangani oleh debitur atau penasehat hukumnya (pasal 213 ayat (1)).
Segi pihak :
- Undang-undang Kepailitan; debitur, kreditur, Hakim pengawas, Hakim pengadilan, kurator.
- Fv; debitur, kreditur, kurator.

Eksekusi
• Sejak putusan berkekuatan hukum tetap, kurator melakukan pengurusan dan pemberesan meskipun diajukan kasasi/ PK → dalam hal dibatalkan karena ada kasasi/ PK → perbuatan kurator sebelum pembatalan adalah sah.

Minggu, 19 Juni 2011

Prinsip-prinsip dalam ICC

A. Prinsip komplementaris
Prinsip ini dicantumkan dalam alinea kesepuluh piagam statuta ICC yang berisi sebagai berikut “Emphasizing that the international criminal court established under this Statute shall be complementary to national criminal jurisdiction”. Pengadilan pidana internasional ini seharusnya memperkuat dan melengkapi pengadilan pidana nasional dan tidak menggantikan fungsi dan tugas penyidikan, penuntutan, dan peradilan nasional. Hal itu tidak bererti bahwa pengadilan pidana internasional merupakan perpanjangan yurisdiksi pengadilan nasional. Prinsip ini merupakan prinsip baru dalam hukum internasional publik dan memiliki arti yang sangat penting dalam perkembangan hukum internasional karena masyarakat internasional telah memiliki suatu cara yang tepat dalam menangani suatu kejahatan internasional. Cara yang tepat dimaksud ialah bahwa telah dihasilkannya suatu cara yang tepat guna dan efisien dimana keterlibatan masyarakat internasional di dalam kejahatan serius yang terjadi di dalam suatu negara tidak menegasikan kedaulatan negara yang bersangkutan. Prinsip ini justru memperkuat eksistensi prinsip dalam pemberantasan kejahatan internasional yaitu prinsip au dedere au punere. Akan tetapi prinsip ini tidak mengakui secara mutlak prinsip au dedere au punere karena dengan prinsip ini setiap negara locus delicti harus bersedia menyerahkan pelaku kejahatan internasional kepada pengadilan pidana internasional apabila negara locus delicti tersebut dianggap unwilling dan unable. Prinsip ini menunjukan bagaimana hubungan antara Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan Nasional. Berdasarkan prinsip tersebut, maka ada 2 (dua) hal yang esensial sebagai berikut:
(1) bahwa sesungguhnya Mahkamah Pidana Internasional merupakan kepanjangan tangan/wewenang dari pengadilan nasional dari suatu negara;
(2) bahwa sesungguhnya bekerjanya Mahkamah Pidana Internasional tidak serta merta mengganti kedudukan pengadilan nasional. Kedua hal yang bersifat esensial tersebut diatas, dapat diukur dari standar penerimaan atau standards of admissibility (Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma-1998), yang mensyaratkan 4 (empat) keadaan sebagai berikut :
1) Mahkamah Pidana Internasional harus menentukan bahwa suatu kasus adalah tidak dapat diterima oleh Mahkamah, jika :
a. kasus kejahatan internasional sedang disidik atau dituntut oleh sejumlah negara yang memiliki jurisdiksi atas kejahatan internasional tersebut kecuali : negara yang berersangkutan tidak mau (unwilling) atau tidak mampu secara bersungguh-sungguh (unable genuinely) melaksanakan penyidikan atau penuntutan.
b. Kasus kejahatan internasional tersebut telah disidik oleh negara yang bersangkutan, akan tetapi negara yang bersangkutan telah menetapkan untuk tidak menuntut tersangka/terdakwa, kecuali tindakan tersebut disebabkan oleh tidak adanya kehendak atau ketidakmampuan Negara yang bersangkutan untuk secara bersungguh-sunguh melakukan penuntutan.
c. terdakwa sudah diadili dan peradilan Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat dilaksanakan berdasarkan Pasal 20 ayat (3).
d. Kasus tersebut tidak bersifat serius untuk diteruskan dan di adili oleh Mahkamah.

B. Prinsip Ne bis in idem terbatas
Prinsip ini bertujuan untuk memberikan suatu kepastian hukum. Prinsip ini diatur dalam pasal 20 Statuta Roma, yang berbunyi sebagai berikut: “ Tidak seorang pun yang telah diadili oleh mahkamah lain karena tindakannya yang juga disebutkan di dalam pasal 6, 7, dan 8 akan dituntut oleh mahkamah karena tindakannya yang sama terkecuali jika proses peradilan di mahkamah yang lain tersebut:
a. Bertujuan untuk melindungi orang yang dimaksud dari pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana dalam yurisdiksi dari mahkamah tersebut; atau
b. Tidak dilakukan secara mandiri atau tidak memihak dengan menunjuk pada norma-norma dari peradilan yang diakui oleh hukum internasional dan dilakukan dengan cara yang tidak konsisten dengan tujuan untuk mencapai keadilan.
Di dalam ketentuan pasal 20 (3) Statuta roma tersebut, prinsip ne bis in idem tidak dianut secara mutlak, akan tetapi terbatas. Dengan kata lain masih dapat diterobos dengan 2 persyaratan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (a) dan (b).

C. Penjatuhan Pidana
Dalam ICC tidak dikenal hukuman mati, tetapi maximal hukuman yaitu hukuman penjara seumur hidup untuk kasus yang ekstrim. Hal tersebut mencerminkan perkembangan dari hukum HAM internasional. Apabila kita melihat kepada sejarah pengadilan pidana internasional, tepatnya dalam IMT Nuremberg dikenal adanya hukuman mati yang dikenakan kepada NAZI yang dianggap telah melakukan kejahatan internasional selama PD II. Persetujuan yang melandasi pelaksanaan MahkamahNurenberg, yakni Agreement for the Prosecution and Punishment of the Major War Criminals of the European Axis tanggal 8 Agustus 1945 tegas memuat ancaman pidana mati. Sedangkan di dalam sistem peradilan ICTY dan ICTR, pidana mati tidak akan pernah diterapkan. Ini juga sekaligus berarti bahwa para pelaku genosida, pelaku kejahatan perang dan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk yang terwujud dalam tindakan-tindakan penyiksaan, eksperimen biologis dalam perang, penyanderaan penduduk sipil, pengeboman desa-desa yang bukan merupakan objek militer dalam perang, perbudakan, pembunuhan, penyiksaan, dan perkosaan sampai kapan pun tidak akan pernah dipidana mati di bawah sistem ICTY dan ICTR. Apa yang sudah dimulai oleh ICTY dan ICTR terkait dengan pidana mati ternyata kemudian dipertegas oleh Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar penyelenggaraan ICC (International Criminal Court). Artikel 77 Statuta Roma 1998 secara tegas menyatakan bahwa pidana pokok yang bisa dijatuhkan terhadap pelaku genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (the crime of agression). Akan tetapi pidana tambahan dapat dijatuhkan seperti hukuman denda sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dan pengembalian hasil, kekayaan, dan aset yang diperolehnya baik secara langsung maupun tidak langsung dari kejahatan yang dilakukannya. Jadi sama halnya dengan Statuta ICTY dan ICTR, pemidanaan di dalam sistem ICC yang hanya dibatasi pada pidana penjara (imprisonment) akan membuat pelaku kejahatan internasional yang diatur dalam Artikel 5 Statuta Roma (genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan agresi) tidak akan pernah tersentuh oleh pidana mati, betapa pun misalnya pelaku kejahatan ini luar biasa kejam dan tindakannya menyebabkan matinya ribuan orang, termasuk perempuan dan anak-anak.

Daftar pustaka
Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Pidana Internasional II, Hecca Press,
Jakarta, 2004.
Makalah pengadilan pidana internasional, Prof. Romli Atmasasmita
Jurnal ilmu hukum “Hukum Pidana Mati dalam Perspektif Hukum Internasional”, Arie Siswanto

Sejarah dan Perkembangan Pengadilan Pidana Internasional dan Pengadilan HAM Indonesia

A. Pengadilan Pidana Internasional

a. IMT Nuremberg
IMT Nuremberg merupakan suatu pengadilan Ad Hoc (sementara) dimulai pada November 1945 sampai dengan September 1946, yang dibentuk atas inisiatif sekutu selaku pemenang perang sehingga dikatakan sebagai Victor Justice. Pengadilan ini telah membawa ke meja hijau sebanyak 22 orang penjahat perang NAZI, 11 diantaranya dijatuhi pidana mati. Yurisdiksi materil dari pengadilan Ad Hoc ini meliputi Crimes Against Peace, Crimes Against Humanity, dan War Crimes. Dasar hukum dari pengadilan ini yaitu Charter dan Principle yang dibuat oleh pemenang perang. Selain itu dalam IMT Nuremberg dikenal adanya individual responsibility dan asas retroaktif. Meskipun dalam hukum internasional dilarang menggunakan asas retroaktif karena bertentangan dengan asas legalitas, tetapi penyimpangan terhadap asas-asas hukum universal merupakan suatu kekecualian yang dimungkinkan sesuai dengan kebutuhan hukum pada masanya dan untuk menampung aspirasi keadilan yang restoratif dan tidak semata-mata keadilan yang bersifat restibutive.

b. IMT Tokyo
IMT Tokyo ini serupa dengan IMT Nuremberg yang bersifat sementara, dimulai tahun 1946 sampai dengan 1948. Dasar hukum dari mahkamah ini yaitu Charter dan Principle yang dibuat oleh pemenang perang. Selain itu dalam IMT Nuremberg dikenal adanya command responsibility dan asas retroaktif. Pengadilan Ad Hoc ini telah membawa penjahat perang ke meja hijau, yang diantaranya dijatuhi pidana mati sebanyak 7 orang, 16 orang divonis penjara seumur hidup, 2 orang penjara, 2 orang dinyatakan meninggal dunia, dan 1 orang dinyatakan gila. Yurisdiksi materil dari pengadilan Ad Hoc ini meliputi Crimes Against Peace, Crimes Against Humanity, dan War Crimes.

c. ICTY
Berbeda dengan Mahkamah Internasional nyang merupakan suatu peradilan tetap, mahkamah ini didirikan oleh suatu keputusan DK PBB no. 827 tanggal 25 Mei 1993 yang bertindak dibawah Bab VII Piagam yang berkenaan dengan pemeliharaan perdamaian dan kemanan internasional. Mahkamah ini dibentuk untuk mengadili kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran-pelanggaran berat hukum humaniter di wilayah negara bekas Yugoslavia (Bosnia dan Kosovo). Yurisdiksi mahkamah ini meliputi pelanggaran-pelanggaran berat terhadap Konvensi-konvensi Jenewa 1949, pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang, kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan-tindakan genosida, atau dapat kita katakan juga bahwa ICTY memiliki yurisdiksi terhadap berbagai kejahatan baik di dalam internal armed coflict maupun internasional armed conflict. Dalam hal pembentukan ICTY berdasarkan resolusi DK PBB, DK PBB dianggap sebagai suatu lembaga yang paling tepat untuk membentuk ICTY. Hal ini dikarenakan terdapat pelanggaran secara luas hukum humaniter internasional di wilayah bekas negara Yugoslavia, termasuk pembunuhan-pembunuhan massal dari pembersihan etnis, sehingga menimbulkan suatu ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. , Jadi, pembentukan mahkamah ini merupakan suatu sumbangan yang sangat berarti bagi pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi dan pengukuhan hukum humaniter internasional dan sekaligus mengingatkan kepada para pelanggar HAM berat yang akan datang bahwa mereka tidak akan bebas begitu saja dan akan ada pengadilan pidana internasional yang akan menuntut dan mengadili mereka.
d. ICTR
Seperti halnya dengan ICTY, mahkamah ini dibentuk berdasarkan DK PBB melalui resolusi no. 955, 8 November 1994, dibawah wewenang Bab VII Piagam. Yurisdiksi ICTR ini hanya meliputi peristiwa-peristiwa yang terjadi oada tahun 1994 saja dimana kelompok mayoritas etnik Hutu melakukan pembantaian terhadap kelompok etnis minoritas Tutsi yang menelan korban jiwa sekitar 800.000 orang, sehingga dapat dikatakan bahwa yurisdiksi mahkamah ini adalah internal armed conflict. Sedangkan yurisdiksi materilnya meliputi Genosida, pelanggaran konvensi Geneva, dan Kejahatan terhadap kemanusiaan. ICTR dalam melakukan kegiatannya secara pararel dengan sistem peradilan Rwanda yang menuntut mereka yang melakukan perbuatan genosida dan dalam melaksanakan tugas-tugasnya mendapatkan dukungan dan kerja sama yang baik dari negara-negara Afrika lainnya. Pembentukan ICTR dan keberhasilan dalam melaksanakan tugasnya ini memiliki arti yang penting bagi benua Afrika yang sering dilanda perang saudara dan kudeta.

e. Special Court for Sierra Leone (SCSL)
Masih di benua Afrika, pada bulan Januari 2002 atas dasar persetujuan antara pemerintah Sierra Leone dan PBB dibentuk pula Mahkamah Khusus untuk Sierra Leone. SCSL ini merupakan Mixed Tribunal yaitu Mahkamah yang terdiri dari hakim-hakim internasional dan hakim-hakim nasional. Tugas dari SCSL ini adalah menuntut dan mengadili orang-orang yang sangat bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan pelanggaran-pelanggaran berat lainnya terhadap hukum humaniter internasional serta kejahatan-kejahatan yang dilakukan melanggar perundang-undangan Sierra Leone yang relevan dan terjadi di wilayah Sierra Leone semenjak tanggal 30 November 1996. SCSL ini dibentuk berdasarkan resolusi DK PBB No. 1315, 14 Agustus 2000. Selain itu, SCSL ini selama 2 tahun didirikan telah mengeluarkan dakwaan terhadap 13 orang yang mewakili 3 faksi yang saling berperang, 2 orang tersangka sudah meninggal.



f. Cambodia
Sama halnya dengan SCSL, Cambodia merupakan suatu mahkamah yang termasuk ke dalam Mixed Tribunal. Mahkamah tersebut dibentuk untuk menuntut dan mengadili para penjahat terhadap kemanusiaan dan penjahat perang Kmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot yang antara tahun 1975-1979 telah membunuh penduduk sekitar 1. 700. 000 orang. Dalam mahkamah Pidana di Camboja dpimpin oleh hakim-hakim yang dipilih oleh Majelis Umum PBB dan hakim-hakim yang ditunjuk oleh pemerintah setempat.

g. Mahkamah Pidana Internasional
Perang Dunia II telah membawa bencana dan malapetaka besar terhadap umat manusia yang telah menelan korban jiwa sekitar 60 juta orang, jauh lebih banyak dari korban pada perang dunia I yang berjumlah 38 juta orang. . Kejahatan-kejahatan perang, pembunuhan secara sistematik, perbuatan genosida telah menandai bahwa adanya perang global, pembunuhan-pembunuhan secara massal dan sistematik terus terjadi.Keadaan tersebut telah mendorong masyarakat internasional untuk secepatnya membentuk mahkamah yang dapat mengadili para pelaku kejahatan perang tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, sudah lama para ilmuwan memikirkan untuk membentuk suatu pengadilan yang dapat menuntut dan mengadili para pelaku kejatan perang, pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Gagasan untuk membentuk mahkamah pidana ini terus bergulir dan dari tahun 1949 – 1954 Komisi Hukum Internasional PBB menyiapkan beberapa draft statuta bagi pembentukan suatu mahkamah pidana internasio nal. Pada tahun 1994 komisi hukum internasional telah menyelesaikan pekerjaannya dalam pembuatan draft statuta tersebut dan menyerahkan kepada Majelis Umum PBB. Majelis Umum PBB kemudian menyerahkannya kepada Ad Hoc Committe tentang pembentukan Mahkamah Pidana Internasional untuk melanjutkan pembahasan atas isu-isu yang substantif. Kemudian pada tahun 1995, MU PBB membentuk Preapatory Committe setelah mempelajari laporan dari Ad Hoc Committe sebelum melanjutkannya ke konferensi diplomatik. Berdasarkan resolusi MU PBB No. 51/207, 1966 dan resolusi No.52/160, 1997 diselenggarakan the United Nations Diplomatic Conference of Plenipotentiaries tentang Pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasional yang berlangsung dari tanggal 15 Juni – 17 Juli 1998. Sampai dengan 31 Desember 2000, Statuta Mahkamah Pidana Internasional tersebut terdapat 139 negara yang menandatangi. Pembentukan Mahakamah Pidana Internasional ini sungguh merupakan peristiwa sejarah yang sangat penting dalam perkembangan sistem hukum karena individu-individu dapat dibawa ke mahkamah apabila terbukti melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sesuai dengan pasal 126 Statuta melai berlaku setelah didepositkannya pada Sekjen PBB ratifikasi ke 60 yaitu tanggal 1 Juli 2002. Sampai bulan September 2004, 97 negara sudah meratifikasi statuta tersebut. Mahkamah Pidana Internasional hanya menuntut dan mengadili individu-individu yang bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional. Mahkamah Pidana Internasional ini memiliki beberapa yurisdiksi, diantaranya yaitu:
- yurisdiksi materil yang meliputi the Crime of Genocide, Crimes Against Humanity, War Crimes, The Crime of Aggression.
- yurisdiksi temporal yaitu bahwa kejahatan-kejahatan yang termasuk ke dalam yurisdiksi materil dan dilakukan sejak tanggal 1 Juli 2002 akan dapat dibawa ke ICC.
- yurisdiksi territorial yaitu bahwa ICC dapat diberlakukan di wilayah negara peserta (negara yang ikut menandatangani dan/atau meratifikasi statuta roma), negara yang menerima yurisdiksi ICC, dan atas putusan DK PBB.
- yurisdiksi personal yaitu ICC dapat diberlakukan kepada negara peserta, negara yang menerima yurisdiksi ICC, dan sepanjang menurut DK PBB layak untuk dibawa ke ICC.
Statuta ICC ini memiliki beberapa prinsip yang dapat digolongkan ke dalam 2 golongan yaitu prinsip-prinsip yang bersifat spesifik dan prinsip-prinsip yang bersifat universal. Prinsip-prinsip yang bersifat spesifik ini meliputi 7 prinsip yaitu: prinsip komplementaris, prinsip non-impunity, prinsip admissibillty, prinsip ne bis in idem yang bersifat limitatif, prinsip kerjasama internasional, prinsip non capital punishment, dan prinsip imunitas Hakim Majelis. Prinsip-prinsip yang bersifat universal yang merupakan prinsip umum hukum pidana (general principles of criminal law) meliputi: prinsip nullum crimen sine lege, prinsip nulla poena sine lege, prinsip non-retroaktif, prinsip individual criminal responbility, prinsip command responbility, prinsip non kadaluarsa, prinsip pengecualian dalam pertanggungjawaban, dan prinsip praduga tak bersalah.

B. Pengadilan HAM di Indonesia
Pada tanggal 23 september 1999 telah diundangkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Salah satu aplikasi dari perlindungan HAM adalah bahwa terhadap barang siapa melakukan pelanggaran HAM berat dapat diketahui harus diadili dan bila terbukti harus dihukum sesuai sanksi hukum yang diancamkan. Pasal 104 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menentukan:
(1) Untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.
(3) Sebelum terbentuk Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggrana HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh Pengadilan yang berwenang.
Sebagai langkah lanjut dari pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, pada tanggal 23 September 2000 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebagai konsekuensi diundangkannya undang-undang ini, maka ada kewajiban pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM. Sebagai realisasinya pada tanggal 23 April 2001 telah diundangkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2001 tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebagai tindak lanjut untuk pembentukan Pengadilan HAM maka diundangkan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001, yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001 tanggal 1 Agustus 2001 yang mengubah Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001. Untuk melaksanakan Keputusan Presiden mengenai pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, MA telah membentuk Kelompok Kerja Persiapan Pelaksanaan Peradilan HAM. Kelompok kerja kini kemudian melaksanakan tugasnya dengan menghubungi perguruan-perguruan Tinggi, lembaga atau institusi yang melakukan studi tentang HAM untuk memperoleh masukan dan kontribusi dari Dosen-Dosen atau memimpin lembaga studi mengenai HAM atau sebagai penatar dalam penataran dan temu ilmiah tentang HAM. Upaya ini dilakukan oleh Kelompok Kerja MA dalam rangka merekrut-rekrut Hakim-hakim Ad Hoc bersama-sama hakim karier yang telah ditunjuk. Kombinasi hakim tersebut dipersiapkan sebagai Hakim-hakim Peradilan HAM Ad Hoc. Hal tersebut dengan tujuan supaya perkara HAM yang berat dapat diadili secara lebih objektif. Melalui proses yang cukup panjang, akhirnya terbentuklah Peradilan HAM Ad Hoc yang bertempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (sesuai Kepres Nomor 96 Tahun 2001). Hakim Pengadilan HAM tingkat pertama dilantik pada tanggal 31 Januari 2002. Kemudian Jaksa Agung RI melalui keputusan Jaksa Agung Kep. 092/A/JA/02/2002 tanggal 7 Februari 2002 telah mengangkat 24 Jaksa Ad Hoc, dan pada hari Kamis tanggal 21 Februari 2002 penyerahan perkara untuk pertama kalinya oleh Jaksa diserahkan pada Peradilan HAM Ad Hoc. Pada tanggal 14 Maret 2002 Pengadilan HAM Ad Hoc untuk pertama kalinya menggelar persidangan perkara pelanggaran HAM di Timtim.

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Pidana Internasional II, Hecca Press,
Jakarta, 2004.
Dirdjosisworo, Soedjono, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Mauna, Boer, Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2008.

Perbandingan antara ICC dengan Pengadilan HAM Indonesia

Apabila dilihat dari latar belakangnya berdiri ICC, bahwa ICC dibentuk akibat dari adanya Perang Dunia II telah membawa bencana dan malapetaka besar terhadap umat manusia yang telah menelan korban jiwa sekitar 60 juta orang, jauh lebih banyak dari korban pada perang dunia I yang berjumlah 38 juta orang. .Kejahatan-kejahatan perang, pembunuhan secara sistematik, perbuatan genosida telah menandai bahwa adanya perang global, pembunuhan-pembunuhan secara massal dan sistematik terus terjadi.Keadaan tersebut telah mendorong masyarakat internasional untuk secepatnya membentuk mahkamah yang dapat mengadili para pelaku kejahatan perang tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, sudah lama para ilmuwan memikirkan untuk membentuk suatu pengadilan yang dapat menuntut dan mengadili para pelaku kejatan perang, pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Gagasan untuk membentuk mahkamah pidana ini terus bergulir dan dari tahun 1949 – 1954 Komisi Hukum Internasional PBB menyiapkan beberapa draft statuta bagi pembentukan suatu mahkamah pidana internasio nal. Pada tahun 1994 komisi hukum internasional telah menyelesaikan pekerjaannya dalam pembuatan draft statuta tersebut dan menyerahkan kepada Majelis Umum PBB. Majelis Umum PBB kemudian menyerahkannya kepada Ad Hoc Committe tentang pembentukan Mahkamah Pidana Internasional untuk melanjutkan pembahasan atas isu-isu yang substantif. Kemudian pada tahun 1995, MU PBB membentuk Preapatory Committe setelah mempelajari laporan dari Ad Hoc Committe sebelum melanjutkannya ke konferensi diplomatik. Berdasarkan resolusi MU PBB No. 51/207, 1966 dan resolusi No.52/160, 1997 diselenggarakan the United Nations Diplomatic Conference of Plenipotentiaries tentang Pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasional yang berlangsung dari tanggal 15 Juni – 17 Juli 1998. Sampai dengan 31 Desember 2000, Statuta Mahkamah Pidana Internasional tersebut terdapat 139 negara yang menandatangi. Pembentukan Mahakamah Pidana Internasional ini sungguh merupakan peristiwa sejarah yang sangat penting dalam perkembangan sistem hukum karena individu-individu dapat dibawa ke mahkamah apabila terbukti melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sesuai dengan pasal 126 Statuta melai berlaku setelah didepositkannya pada Sekjen PBB ratifikasi ke 60 yaitu tanggal 1 Juli 2002. Sampai bulan September 2004, 97 negara sudah meratifikasi statuta tersebut. Mahkamah Pidana Internasional hanya menuntut dan mengadili individu-individu yang bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional.
Sedangkan, Pengadilan HAM Indonesia dibentuk karena adanya berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia seperti kasus pelanggaran HAM yang terjadi belum pernah terselesaikan secara tuntas antara lain kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Papua dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur selama pra dan pasca jajak pendapat belum ada yang terselesaikan. Karena adanya kondisi tersebut, maka masyarakat internasional memberikan perhatiannya kepada Indonesia terutama karena adanya pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor-Timur. Tidak saja itu, akan tetapi Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Geneva pada tanggal, 23 – 27 September 1999 menyelenggarakan special session mengenai 1
situasi di Timor Timur. Special session tersebut adalah yang keempat diadakan sejak komisi ini dibentuk 50 tahun yang lalu. Hal ini membuktikan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur menarik perhatian masyarakat internasional. Special Session tersebut mengeluarkan Resolusi 1999/S-4/1 yang menuntut kepada Pemerintah Indonesia, antara lain:
- mengadakan kerjasama dengan Komnas HAM yang akan menjamin bahwa orang-orang yang melakukan pelanggaran HAM tersebut akan bertanggung jawab dan diadili atas tindak kekerasan dan pelanggaran sistematis terhadap hak asasi manusia.
- membentuk komisi penyelidik internasional dengan komposisi anggota yang terdiri dari ahli-ahli dari Asia yang akan bekerjasama dengan Komnas HAM Indonesia.
- mengirimkan pelapor khusus ke Timor Timur; dan
- merekomendasikan untuk membentuk International tribunal atas kasus tersebut.
Berdasarkan resolusi Komisi HAM PBB tersebut menunjukan adanya ketidakpercayaan masyarakat internasional pada sistem peradilan Indonesia apabila dilihat dari adanya suatu keterkaitan antara pelaku kejahatan yang merupakan alat negara. Akan tetapi, pemerintah Indonesia secara tegas menolak dan sebagai konsekuensinya pemerintah Indonesia akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan menggunakan perangkat hukum nasional karena di dalam konstitusi Indonesia memungkinkan untuk menyelenggarakan peradilan hak asasi manusia yang antara lain dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945 (sebelum amandemen). Untuk membentuk suatu Pengadilan HAM ini diperlukan suatu mekanisme nasional yang mengharuskan dipenuhinya instrumen hukum nasional yang memadai sesuai dengan
prinsip-prinsip dalam hukum internasional.
Meskipun mekanisme/sistem hukum nasional yang akan dipilih untuk menegakkan pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi tetapi penting untuk memenuhi syarat adanya pengadilan nasional yang efektif. Atas berbagai desakan yang muncul tersebut maka pada tanggal 23 September 1999 pemerintah mengeluarkan Undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang di dalam pasal 104 mengamanatkan pembentukan Pengadilan HAM untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat Pada tanggal 8 Oktober 1999, Presiden Habibie mengeluarkan Perpu No. 1 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perpu tersebut memberikan kewenangan hanya kepada Komnas HAM untuk mengadakan penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia yang nantinya akan diajukan ke pengadilan. Akan tetapi, perpu tersebut ditolak oleh DPR yang dinilai tidak memadai dan DPR membentuk UU no.26 tahun 2000 sebagai langkah lanjut dari pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Pada tanggal 23 September 2000 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebagai konsekuensi diundangkannya undang-undang ini, maka ada kewajiban pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM. Sebagai realisasinya pada tanggal 23 April 2001 telah diundangkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2001 tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Apabila dilihat dari Yurisdiksi, ICC memiliki 4 yurisdiksi yaitu:
- yurisdiksi materil yang meliputi the Crime of Genocide, Crimes Against Humanity, War Crimes, The Crime of Aggression.
- yurisdiksi temporal yaitu bahwa kejahatan-kejahatan yang termasuk ke dalam yurisdiksi materil dan dilakukan sejak tanggal 1 Juli 2002 akan dapat dibawa ke ICC.
- yurisdiksi territorial yaitu bahwa ICC dapat diberlakukan di wilayah negara peserta (negara yang ikut menandatangani dan/atau meratifikasi statuta roma), negara yang menerima yurisdiksi ICC, dan atas putusan DK PBB.
- yurisdiksi personal yaitu ICC dapat diberlakukan kepada negara peserta, negara yang menerima yurisdiksi ICC, dan sepanjang menurut DK PBB layak untuk dibawa ke ICC.
Sedangkan Pengadilan HAM Indonesia memiliki yurisdiksi materil yang meliputi the Crime of Genocide, Crimes Against Humanity yang merupakan bentuk pengadopsian dari Statuta ICC. Hal tersebut diperkuat di dalam pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26 Tahun 2000 dalam penjelasannya dinyatakan sebagai ketentuan yang sesuai dengan Rome Statute of International Criminal Court 1998. Penjelasan tersebut mempunyai konsekuensi bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti yang tercantum dalam Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 sama maksudnya dengan Pasal 6 dan 7 dalam Statuta Roma 1998 termasuk terhadap penyesuaian unsur-unsur tindak pidananya (element of crimes). Di dalam Pengadilan HAM di Indonesia memiliki 2 macam penyelesaian yaitu :
- mekanisme pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang ini, artinya untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun 2000 maka akan dibentuk pengadilan HAM ad hoc.
- Kedua adalah pengadilan HAM yang sifatnya permanen terhadap kasus setelah terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000 dan yang ketika adalah dibukanya jalan mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.
Selain itu di dalam Statuta ICC ini memiliki beberapa prinsip yang dapat digolongkan ke dalam 2 golongan yaitu prinsip-prinsip yang bersifat spesifik dan prinsip-prinsip yang bersifat universal. Prinsip-prinsip yang bersifat spesifik ini meliputi 7 prinsip yaitu: prinsip komplementaris, prinsip non-impunity, prinsip admissibillty, prinsip ne bis in idem yang bersifat limitatif, prinsip kerjasama internasional, prinsip non capital punishment, dan prinsip imunitas Hakim Majelis. Prinsip-prinsip yang bersifat universal yang merupakan prinsip umum hukum pidana (general principles of criminal law) meliputi: prinsip nullum crimen sine lege, prinsip nulla poena sine lege, prinsip non-retroaktif, prinsip individual criminal responbility, prinsip command responbility, prinsip non kadaluarsa, prinsip pengecualian dalam pertanggungjawaban, dan prinsip praduga tak bersalah.
Sedangkan di dalam Pengadilan HAM Indonesia, dikenal adanya prinsip individual criminal responbility, prinsip command responbility, adanya prinsip retroaktif yang sangat erat kaitannya dengan Betuk pengadilan HAM ad hoc yang dalam Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 yang berlaku untuk locus dan tempus delicti tertentu mengacu pada bentuk pengadilan internasional ad hoc, yang antara lain memungkinkan berlakunya prinsip retroaktivitas.
Apabila dilihat dari organ pengadilan di ICC terdiri dari presiden yang masa jabatannya 9 tahun, hakim yang berkualifikasi terdiri dari 18 orang (pre trial, trial, dan appeal) yang memiliki masa jabatan 3tahun, 6 tahun, dan 9tahun. JPU berkualifikasi yang masa jabatanya 3tahun dan 9 tahun dan panitera yang bertanggung jawab atas aspek non hukum, administrasi, dan pelayanan pengadilan. Hakim dan JPU dipilih oleh majelis negara peserta sedangkan panitera dipilih oleh Hakim. Sedangkan, di dalam pengadilan HAM, penyelidikan dilakukan oleh KOMNAS HAM, penyidikan, penangkapan dan penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung. Untuk kasus pelanggaran HAM yang berat terdapat 5 orang hakim berkualifikasi yang terdiri dari 2 orang hakim pengadilan HAM dan 3 orang hakim Ad Hoc yang akan memeriksa, mengadili, dan memutus. Majelis hakim tersebut diketuai oleh hakim dari pengadilan HAM yang bersangkutan.Pada tingkat banding majelis hakimnya berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim dari pengadilan setempat dan 3 orang hakim ad hoc. Demikian juga komposisi mengenai majelis hakim dalam tingkat kasasi. Dari ketentuan diatas, pengaturantentang hakim ad hoc hanya sampai pada tingkat kasasi. Tidak ada kejelasan mengenai hakim yang dapat mengadili di tingkat peninjauan kembali (PK).
Apabila dilihat dari hukum acara di ICC, terdapat suatupre trial yang akan menilai apakah suatu kejahatan atau pelaku dapat dibawa ke ICC atau tidak, bertanggung jawab atas otorisasi penyelidikan, meninjau keputusan JPU untuk tidak melanjutkan penyelidikan, menjamin dari hak-hak orang tersebut dan para korban dijaga pada tahap awal, dan Pre trial chamber juga dapat mengambil alih suatu investigasi, mengenai pengambilan kesaksian dari saksi, atau pemeriksaan, pengujian bukti untuk keperluan persidangan. Apabila Pre trial chamber menolak karena ICC tidak memiliki yurisdiksi atas kejahatan atau pelaku tersebut, maka dapat dilakukan upaya banding dan apabila diterima maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya (proses peradilan). Di dalam proses persidangan sendiri, terdakwa diharapkan hadir mengikuti persidangan karena ICC tidak mengenal pemeriksaan secara in absntia. Akan tetapi, in absentia tersebut tidak mutlak apabila terdakwa telah dipanggil secara patut tetapi tetap tidak hadir maka dapat dilakukan in absentia, kecuali apabila terdakwa tidak hadir di persidangan dikarenakan sakit atau karena ada sesuatu hal yang mengakibatkan terdakwa tidak bisa hadir di persidangan maka persidangan harus ditunda sampai dengan waktu yang diperkirakan , terdakwa dapat hadir di muka persidangan. Dalam persdiangan, terdakwa memiliki suatu hak untuk melakukan pengakuan bersalah (hal ini merupakan pengadopsian dari hukum acara di common law system yang mengenal proses hearing), sebagaimana ditegaskan dalam pasal 64 ayat 8 butir a SICC. Apabila Trial berpendapat bahwa semua persyaratan untuk melakukan proses tersebut dipenuhi, maka terdakwa dapat dijatuhi sesuai dengan dakwaan yang didakwakan kepadanya. Setelah melalui proses persidangan sesuai dengan statuta serta hukum acara dan pembuktian maka pada akhirnya mahkamah harus mengambil suatu putusan atas kasus tersebut. Dalam proses pengambilan putusan tersebut, semua hakim diwajibkan untuk menghadiri pada setiap seluruh tahap persidangan dan dalam proses pengambilan putusan tersebut harus adanya aklamasi (putusan bulat) dari majelis hakim yang didasarkan atas evaluasinya terhadap alat-alat bukti yang diajukan dalam seluruh proses persidangan. Di samping itu, Mahkamah dapat memberikan putusan yang berupa restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi. Di dalam ICC juga, tidak dikenal hukuman mati, yang dikenal hanya hukuman seumur hidup atau hukuman penjara paling lama 30 tahun. Sedangkan untuk pidana penjara dapat ditambah dengan pidana tambahan yaitu:
- Denda sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam aturan mengenai hukum acara dan pembuktian.
- Penebusa hasil, kekayaan, dan aset yang diperoleh sesuai hasil baik secara langsung maupun tidak yang diperoleh dari kejahatan yang dilakukannya, dengan tidak melanggar hak-hak pihak ketiga.
Sedangkan berdasarkan mekanisme pengadilan HAM di Indonesia, di dalam Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan di pengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Selain itu, di dalam UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan HAM di luar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM yang berat yaitu ketika adanya suatu pelanggaran HAM berat maka dapat dilakukan penyelidikan menyelidiki atau menerima pengaduan dari korban atau saksi. Komnas HAM yang dapat membentuk suatu tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan masyarakat. Hasil penyelidikan tersebut disampaikan kepada Jaksa Agung yang melakukan proses penyidikan, penangkapan dan penuntutan. Apabila setelah melakukan penyelidikan, Komnas HAM menilai tidak terdapat suatu pelanggaran HAM berat maka terhadap kasus tersebut dapat dihentikan oleh Komnas HAM. Setelah dilakukan penyidikan oleh Jaksa Agung dan Jaksa Agung cukup bukti untuk melanjutkan dari proses penyidikan ke proses persidangan. Di dalam proses persidangan ini tidak terdapat proses hearing sebagaimana yang terdapat di dalam Mahkamah Pidana Internasional. Di dalam persidangan, suatu kasus akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh 5 orang hakim Apabila terhadap kasus pelanggaran HAM berat maka diperlukan waktu paling lama 180hari terhitung sejak perkara dilimpahkan di pengadilan HAM untuk diperiksa dan diadili. Apabila p[erkara tersebut dimohonkan banding, maka dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi. Sedangkan untuk mengajukan kasasi dapat diajukan ke Mahkamah Agung. Sedangkan apabila suatu pelanggaran HAM itu terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 maka kasus tersebut akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc yang hukum acara pemeriksaannya sama seperti yang telah diuraikan di dalam UU No. 26 Tahun 2000. Akan tetapi, perbedaannya yaitu mengenai komposisi hakim, JPU, dan Komnas HAM yang dimana di dalam pengadilan HAM ad hoc disebutkan bahwa masa jabatannya sementara (ad hoc). Jenis hukuman diatur di dalam Bab VII UU No. 26 Tahun 2000 dapat berupa hukuman mati, hukuman penjara seumur hidup, hukuman penjara dalama jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila tidak erbukti bersalah, maka pelaku tersebut dapat dibebaskan. Hal ini berbeda dengan Mahkamah Pidana Internasional, yang tidak mengatur putusan yang berupa pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum. Selain itu, pengadilan HAM di Indonesia memiliki suatu kewenangan untuk memutuskan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban pelanggaran HAM yang berat.

Kesimpulan
Setelah melihat dari berbagai sisi, baik dari latar belakang pembentukan, substansi, hukum acara dan pembuktian antara ICC dengan Pengadilan HAM di Indonesia, di dalam UU no. 26 Tahun 2000 hanya memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Akan tetapi hal tersebut tidak secara lengkap menyesuaikan tindak pidana yang diatur yaitu kajahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida yang seharusnya juga disertai dengan penjelasan mengenai unsur-unsur tindak pidananya (elements of crimes). UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini juga tidak mengatur tentang prosedur pembuktian secara khusus untuk mengadili kejahatan yang sifatnya “extraordinary crimes”. Hal tersebut dalam prakteknya menyulitkan proses peradilan HAM yang mengakibatkan majelis hakim melakukan penafsirkan peraturan sesuai dengan pertimbangan majelis hakim.
Jadi sebenernya UU pengadilan HAM UU No. 26 Tahun 2000 secara substansi banyak melakukan pengadopsian dari norma-norma hukum internasional terutama norma-norma dalam SICC (Rome Statute of International Criminal Court). Akan tetapi hal masih banyak kelemahan yang dikarenakan proses pengadopsian dari instrumen internasional yang tidak lengkap dan mengalami banyak kesalahan. Pengadopsian atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tanggung jawab komando tidak memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam aplikasinya. Kelemahan lainnya adalah tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus dan masih banyak menggunakan ketentuan yang berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Daftar Pustaka
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional II, Hecca Press,
Jakarta, 2004.
Boer Mauna, Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2008.
I Wayan, 2003. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi.
Zainal Abidin, Pengadilan HAM di Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.
Statuta Roma 1998
UU No. 26 tahun 2000

Kamis, 16 Juni 2011

Kedudukan Peraturan Gubernur Jabar No. 12 Tahun 2011 Tentang Larangan Kegiatan Ahmadiyah di Jawa Barat

Indonesia merupakan negara kesatuan yang menerapkan sistem desentralisasi. Dalam perkembangannya desentralisasi terbagi atas otonomi dan tugas pembantuan. Apabila dilihat dari peristilahan “autonomie” yang berasal dari bahasa yunani (autos yang berarti sendiri, nomos yaitu undang-undang) yang berarti perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving). Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundangan (regeling) mengandung pula arti pemerintahan (bestuur). Jadi otonomi berarti hak atau wewenang untuk membuat peraturan sendiri, termasuk pula hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Berdasarkan hal itu, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan di tingkat daerah.
Menurut Prof. Bagir Manan, peraturan perundang-undangan di tingkat daerah dapat diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintahan daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Dalam arti luas, peraruturan perundang undangan di tingkat daerah dapat juga termasuk peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh satuan pemerintah pusat di daerah atau peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah pusat yang berlaku untuk daerah atau wilayah tertentu.
Berdasarkan pasal 7 (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang hierarki peraturan perundang-undangan bahwa Peraturan Daerah termasuk ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Peraturan Daerah dapat meliputi :
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Peraturan perundang-undangan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan atau oleh Kepala Daerah, yakni berupa Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota. Dalam hal ini Keputusan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 146 UU No.32 tahun 2004 seharusnya dikeluarkan dari pengertian peraturan perundang-undangan di tingkat daerah karena keputusan kepala daerah seharusnya dikelompokan sebagai suatu ketetapan. Sehingga yang dapat kita kelompokan sebagai peraturan perundang-undangan daerah yaitu peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Sedangkan di dalam pasal 18 (6) UUD 1945 dikatakan bahwa “Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Dari rumusan tersebut ternyata bahwa salah satu jenis peraturan perundang-undangan di tingkat daerah adalah Perda. Selain Perda masih ada peraturan lain yang dibuat oleh unsur pemerintahan daerah yaitu peraturan Kepala Daerah seperti Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota, dan Peraturan Bupati. Peraturan Kepala Daerah adalah peraturan yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan lainnya. Untuk merealisasikan dari pasal 18 (6) UUD 1945 maka dalam pasal 146 (1) UU No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa “Untuk melaksanakan perda dan atas kekuasaan peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah”.
Dilihat dari proses pembentukan peraturan daerah, adanya penetapan peraturan daerah dilakukan oleh Kepala Daerah dengan mendapatkan persetujuan dari DPRD. Rancangan Perda ini dapat diajukan oleh Kepala Daerah atau DPRD yang kemudian dibahas secara bersama-sama oleh Kepala Daerah bersama DPRD. Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Kepala Daerah menyampaikan raperda mengenai materi yang sama maka yang dibahas adalah raperda yang diajukan oleh DPRD. Dan apabila raperda yang telah disetujui bersama disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi perda. Penetapan perda dilakukan oleh kepala daerah dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu 30hari sejak raperda disetujui bersama oleh DPRD dan kepala Daerah. Dalam hal raperda yang telah disetujui bersama tersebut tidak tidak ditandatangani oleh kepala daerah, maka dalam jangka waktu paling lama 30 hari maka raperda tersebut sah menjadi perda dan diundangkan dalam Lembaran Daerah, sedangkan peraturan Kepala Daerah dimuat dalam berita daerah.
Dilihat dari materi muatan perda berdasarkan pasal 18 (6) UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa substansi peraturan daerah adalah materi mengenai otonomi dan tugas pembantuan. Kemudian apabila kita melihat ke dalam pasal 12 UU No. 10 Tahun 2004 ditetapkan bahwa materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal yang sama mengenai materi muatan Perda diuraikan pula dalam pasal 136 UU No.32 Tahun 2004 yakni sebagai berikut:
(2) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Terdapat perbedaan dari rumusan dalam pasal 18 ayat 6 UUD 1945 dengan rumusan dalam UU No.10 tahun 2004 dan UU No.32 Tahun 2004 yaitu bahwa dalam kedua UU tersebut terdapat rumusan tambahan bahwa Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian materi yang dimuat dalam Peraturan Daerah adalah :
1. Materi mengenai penyelenggaraan otonomi daerah yakni materi yang berhubungan dengan urusan-urusan rumah tangga daerah seperti APBD, susunan organisasi dan tata kerja daerah, perangkat daerah, dsb.
2. Materi yang berhubungan dengan tugas pembantuan karena tugas pembantuan dimintakan kepada Pemerintah Daerah.
3. Materi yang telah diatur dalam peraturan peundang-undangan yang lebih tinggi untuk dijabarkan dalam peraturan daerah.

Mengenai pengertian jenis peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dimaksud dalam praktek banyak menimbulkan masalah, sebab kebanyakan pihak mematok jenis peraturan yang lebih tinggi dari peraturan daerah secara legal diakui adalah apa yang tersirat dalam pasal 7 ayat 1 UU No.10 Tahun 2004 yaitu dari UUD 1945 hingga Perpres. Sementara dalam pasal 7 ayat 4 UU jis Pasal 54 dan pasal 56 masih mengakui keberadaan jenis-jenis peraturan perundang-undangan lain yang dikeluarkan oleh pejabat-pejabat atau badan-badan pemerintahan tingkat pusat seperti peraturan menteri, baik yang sudah ada berupa Keputusan yang harus dibaca sebagai peraturan maupun yang dibentuk sesudah uu no.10 tahun 2004 diundangkan yang kesemuanya berisi peraturan. Misalnya dengan Peraturan Mendagri, apakah dapat dianggap sebagai peraturan yang dapat dijabarkan oleh peraturan daerah.
Sementara itu materi muatan peraturan Kepala Daerah adalah :
1. Penjabaran lebih lanjut ketentuan dalam Perda, baik yang secara tegas diperintahkan untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan Kepala Daerah maupun yang tidak secara tegas diperintahkan.
2. Penjabaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebh tinggi untuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah.
Apabila kita melihat ke dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 Tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat. Menurut saya, Peraturan Kepala Daerah ini sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun dalam pasal 10 ayat 3 UU No. 32 Tahun 2004, terdapat pembagian beberapa urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat yang bukan menjadi kewenangan pemerintah daerah, antara lain:
a. Politik Luar Negeri
b. Pertahanan
c. Keamanan
d. Yustisi
e. Moneter dan Fiskal Nasional; dan
f. Agama
Apabila melihat peraturan tersebut, tentu kita dapat langsung menyimpulkan bahwa peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 tersebut jelas-jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan juga dapat dikatakan telah melanggar asas Lex superior derogat lex inferior. Konsekuensi dari hal tersebut yaitu bahwa peraturan gubernur tersebut tentunya tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mengikat sehingga peraturan tersebut dapat dibatalkan. Akan tetapi apabila kita lihat lebih lanjut dalam ayat 4 disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa. Sehingga Peraturan Gubernur No.12 Tahun 2011 tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan asas Lex Superior derogat Lex Inferior. Akan tetapi Peraturan Gubernur No. 12 Tahun 2011 Tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan daerah dan peraturan yang lebih tinggi. Hal ini diperkut dalam landasan yuridis Peraturan Gubernur No.12 Tahun 2011 yaitu penjabaran lebih lanjut dari UU No. 1/PNPS/1965, UU No. 32 Tahun 2004, PP No. 38 Tahun 2007, SKB 3 Menteri No. 3 Tahun 2008, dll.