Minggu, 19 Juni 2011

Perbandingan antara ICC dengan Pengadilan HAM Indonesia

Apabila dilihat dari latar belakangnya berdiri ICC, bahwa ICC dibentuk akibat dari adanya Perang Dunia II telah membawa bencana dan malapetaka besar terhadap umat manusia yang telah menelan korban jiwa sekitar 60 juta orang, jauh lebih banyak dari korban pada perang dunia I yang berjumlah 38 juta orang. .Kejahatan-kejahatan perang, pembunuhan secara sistematik, perbuatan genosida telah menandai bahwa adanya perang global, pembunuhan-pembunuhan secara massal dan sistematik terus terjadi.Keadaan tersebut telah mendorong masyarakat internasional untuk secepatnya membentuk mahkamah yang dapat mengadili para pelaku kejahatan perang tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, sudah lama para ilmuwan memikirkan untuk membentuk suatu pengadilan yang dapat menuntut dan mengadili para pelaku kejatan perang, pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Gagasan untuk membentuk mahkamah pidana ini terus bergulir dan dari tahun 1949 – 1954 Komisi Hukum Internasional PBB menyiapkan beberapa draft statuta bagi pembentukan suatu mahkamah pidana internasio nal. Pada tahun 1994 komisi hukum internasional telah menyelesaikan pekerjaannya dalam pembuatan draft statuta tersebut dan menyerahkan kepada Majelis Umum PBB. Majelis Umum PBB kemudian menyerahkannya kepada Ad Hoc Committe tentang pembentukan Mahkamah Pidana Internasional untuk melanjutkan pembahasan atas isu-isu yang substantif. Kemudian pada tahun 1995, MU PBB membentuk Preapatory Committe setelah mempelajari laporan dari Ad Hoc Committe sebelum melanjutkannya ke konferensi diplomatik. Berdasarkan resolusi MU PBB No. 51/207, 1966 dan resolusi No.52/160, 1997 diselenggarakan the United Nations Diplomatic Conference of Plenipotentiaries tentang Pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasional yang berlangsung dari tanggal 15 Juni – 17 Juli 1998. Sampai dengan 31 Desember 2000, Statuta Mahkamah Pidana Internasional tersebut terdapat 139 negara yang menandatangi. Pembentukan Mahakamah Pidana Internasional ini sungguh merupakan peristiwa sejarah yang sangat penting dalam perkembangan sistem hukum karena individu-individu dapat dibawa ke mahkamah apabila terbukti melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sesuai dengan pasal 126 Statuta melai berlaku setelah didepositkannya pada Sekjen PBB ratifikasi ke 60 yaitu tanggal 1 Juli 2002. Sampai bulan September 2004, 97 negara sudah meratifikasi statuta tersebut. Mahkamah Pidana Internasional hanya menuntut dan mengadili individu-individu yang bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional.
Sedangkan, Pengadilan HAM Indonesia dibentuk karena adanya berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia seperti kasus pelanggaran HAM yang terjadi belum pernah terselesaikan secara tuntas antara lain kasus Tanjung Priok, DOM Aceh, Papua dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur selama pra dan pasca jajak pendapat belum ada yang terselesaikan. Karena adanya kondisi tersebut, maka masyarakat internasional memberikan perhatiannya kepada Indonesia terutama karena adanya pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor-Timur. Tidak saja itu, akan tetapi Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Geneva pada tanggal, 23 – 27 September 1999 menyelenggarakan special session mengenai 1
situasi di Timor Timur. Special session tersebut adalah yang keempat diadakan sejak komisi ini dibentuk 50 tahun yang lalu. Hal ini membuktikan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur menarik perhatian masyarakat internasional. Special Session tersebut mengeluarkan Resolusi 1999/S-4/1 yang menuntut kepada Pemerintah Indonesia, antara lain:
- mengadakan kerjasama dengan Komnas HAM yang akan menjamin bahwa orang-orang yang melakukan pelanggaran HAM tersebut akan bertanggung jawab dan diadili atas tindak kekerasan dan pelanggaran sistematis terhadap hak asasi manusia.
- membentuk komisi penyelidik internasional dengan komposisi anggota yang terdiri dari ahli-ahli dari Asia yang akan bekerjasama dengan Komnas HAM Indonesia.
- mengirimkan pelapor khusus ke Timor Timur; dan
- merekomendasikan untuk membentuk International tribunal atas kasus tersebut.
Berdasarkan resolusi Komisi HAM PBB tersebut menunjukan adanya ketidakpercayaan masyarakat internasional pada sistem peradilan Indonesia apabila dilihat dari adanya suatu keterkaitan antara pelaku kejahatan yang merupakan alat negara. Akan tetapi, pemerintah Indonesia secara tegas menolak dan sebagai konsekuensinya pemerintah Indonesia akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan menggunakan perangkat hukum nasional karena di dalam konstitusi Indonesia memungkinkan untuk menyelenggarakan peradilan hak asasi manusia yang antara lain dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945 (sebelum amandemen). Untuk membentuk suatu Pengadilan HAM ini diperlukan suatu mekanisme nasional yang mengharuskan dipenuhinya instrumen hukum nasional yang memadai sesuai dengan
prinsip-prinsip dalam hukum internasional.
Meskipun mekanisme/sistem hukum nasional yang akan dipilih untuk menegakkan pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi tetapi penting untuk memenuhi syarat adanya pengadilan nasional yang efektif. Atas berbagai desakan yang muncul tersebut maka pada tanggal 23 September 1999 pemerintah mengeluarkan Undang-undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang di dalam pasal 104 mengamanatkan pembentukan Pengadilan HAM untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat Pada tanggal 8 Oktober 1999, Presiden Habibie mengeluarkan Perpu No. 1 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perpu tersebut memberikan kewenangan hanya kepada Komnas HAM untuk mengadakan penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia yang nantinya akan diajukan ke pengadilan. Akan tetapi, perpu tersebut ditolak oleh DPR yang dinilai tidak memadai dan DPR membentuk UU no.26 tahun 2000 sebagai langkah lanjut dari pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Pada tanggal 23 September 2000 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebagai konsekuensi diundangkannya undang-undang ini, maka ada kewajiban pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM. Sebagai realisasinya pada tanggal 23 April 2001 telah diundangkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2001 tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Apabila dilihat dari Yurisdiksi, ICC memiliki 4 yurisdiksi yaitu:
- yurisdiksi materil yang meliputi the Crime of Genocide, Crimes Against Humanity, War Crimes, The Crime of Aggression.
- yurisdiksi temporal yaitu bahwa kejahatan-kejahatan yang termasuk ke dalam yurisdiksi materil dan dilakukan sejak tanggal 1 Juli 2002 akan dapat dibawa ke ICC.
- yurisdiksi territorial yaitu bahwa ICC dapat diberlakukan di wilayah negara peserta (negara yang ikut menandatangani dan/atau meratifikasi statuta roma), negara yang menerima yurisdiksi ICC, dan atas putusan DK PBB.
- yurisdiksi personal yaitu ICC dapat diberlakukan kepada negara peserta, negara yang menerima yurisdiksi ICC, dan sepanjang menurut DK PBB layak untuk dibawa ke ICC.
Sedangkan Pengadilan HAM Indonesia memiliki yurisdiksi materil yang meliputi the Crime of Genocide, Crimes Against Humanity yang merupakan bentuk pengadopsian dari Statuta ICC. Hal tersebut diperkuat di dalam pengaturan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26 Tahun 2000 dalam penjelasannya dinyatakan sebagai ketentuan yang sesuai dengan Rome Statute of International Criminal Court 1998. Penjelasan tersebut mempunyai konsekuensi bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti yang tercantum dalam Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 sama maksudnya dengan Pasal 6 dan 7 dalam Statuta Roma 1998 termasuk terhadap penyesuaian unsur-unsur tindak pidananya (element of crimes). Di dalam Pengadilan HAM di Indonesia memiliki 2 macam penyelesaian yaitu :
- mekanisme pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang ini, artinya untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun 2000 maka akan dibentuk pengadilan HAM ad hoc.
- Kedua adalah pengadilan HAM yang sifatnya permanen terhadap kasus setelah terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000 dan yang ketika adalah dibukanya jalan mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.
Selain itu di dalam Statuta ICC ini memiliki beberapa prinsip yang dapat digolongkan ke dalam 2 golongan yaitu prinsip-prinsip yang bersifat spesifik dan prinsip-prinsip yang bersifat universal. Prinsip-prinsip yang bersifat spesifik ini meliputi 7 prinsip yaitu: prinsip komplementaris, prinsip non-impunity, prinsip admissibillty, prinsip ne bis in idem yang bersifat limitatif, prinsip kerjasama internasional, prinsip non capital punishment, dan prinsip imunitas Hakim Majelis. Prinsip-prinsip yang bersifat universal yang merupakan prinsip umum hukum pidana (general principles of criminal law) meliputi: prinsip nullum crimen sine lege, prinsip nulla poena sine lege, prinsip non-retroaktif, prinsip individual criminal responbility, prinsip command responbility, prinsip non kadaluarsa, prinsip pengecualian dalam pertanggungjawaban, dan prinsip praduga tak bersalah.
Sedangkan di dalam Pengadilan HAM Indonesia, dikenal adanya prinsip individual criminal responbility, prinsip command responbility, adanya prinsip retroaktif yang sangat erat kaitannya dengan Betuk pengadilan HAM ad hoc yang dalam Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 yang berlaku untuk locus dan tempus delicti tertentu mengacu pada bentuk pengadilan internasional ad hoc, yang antara lain memungkinkan berlakunya prinsip retroaktivitas.
Apabila dilihat dari organ pengadilan di ICC terdiri dari presiden yang masa jabatannya 9 tahun, hakim yang berkualifikasi terdiri dari 18 orang (pre trial, trial, dan appeal) yang memiliki masa jabatan 3tahun, 6 tahun, dan 9tahun. JPU berkualifikasi yang masa jabatanya 3tahun dan 9 tahun dan panitera yang bertanggung jawab atas aspek non hukum, administrasi, dan pelayanan pengadilan. Hakim dan JPU dipilih oleh majelis negara peserta sedangkan panitera dipilih oleh Hakim. Sedangkan, di dalam pengadilan HAM, penyelidikan dilakukan oleh KOMNAS HAM, penyidikan, penangkapan dan penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung. Untuk kasus pelanggaran HAM yang berat terdapat 5 orang hakim berkualifikasi yang terdiri dari 2 orang hakim pengadilan HAM dan 3 orang hakim Ad Hoc yang akan memeriksa, mengadili, dan memutus. Majelis hakim tersebut diketuai oleh hakim dari pengadilan HAM yang bersangkutan.Pada tingkat banding majelis hakimnya berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim dari pengadilan setempat dan 3 orang hakim ad hoc. Demikian juga komposisi mengenai majelis hakim dalam tingkat kasasi. Dari ketentuan diatas, pengaturantentang hakim ad hoc hanya sampai pada tingkat kasasi. Tidak ada kejelasan mengenai hakim yang dapat mengadili di tingkat peninjauan kembali (PK).
Apabila dilihat dari hukum acara di ICC, terdapat suatupre trial yang akan menilai apakah suatu kejahatan atau pelaku dapat dibawa ke ICC atau tidak, bertanggung jawab atas otorisasi penyelidikan, meninjau keputusan JPU untuk tidak melanjutkan penyelidikan, menjamin dari hak-hak orang tersebut dan para korban dijaga pada tahap awal, dan Pre trial chamber juga dapat mengambil alih suatu investigasi, mengenai pengambilan kesaksian dari saksi, atau pemeriksaan, pengujian bukti untuk keperluan persidangan. Apabila Pre trial chamber menolak karena ICC tidak memiliki yurisdiksi atas kejahatan atau pelaku tersebut, maka dapat dilakukan upaya banding dan apabila diterima maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya (proses peradilan). Di dalam proses persidangan sendiri, terdakwa diharapkan hadir mengikuti persidangan karena ICC tidak mengenal pemeriksaan secara in absntia. Akan tetapi, in absentia tersebut tidak mutlak apabila terdakwa telah dipanggil secara patut tetapi tetap tidak hadir maka dapat dilakukan in absentia, kecuali apabila terdakwa tidak hadir di persidangan dikarenakan sakit atau karena ada sesuatu hal yang mengakibatkan terdakwa tidak bisa hadir di persidangan maka persidangan harus ditunda sampai dengan waktu yang diperkirakan , terdakwa dapat hadir di muka persidangan. Dalam persdiangan, terdakwa memiliki suatu hak untuk melakukan pengakuan bersalah (hal ini merupakan pengadopsian dari hukum acara di common law system yang mengenal proses hearing), sebagaimana ditegaskan dalam pasal 64 ayat 8 butir a SICC. Apabila Trial berpendapat bahwa semua persyaratan untuk melakukan proses tersebut dipenuhi, maka terdakwa dapat dijatuhi sesuai dengan dakwaan yang didakwakan kepadanya. Setelah melalui proses persidangan sesuai dengan statuta serta hukum acara dan pembuktian maka pada akhirnya mahkamah harus mengambil suatu putusan atas kasus tersebut. Dalam proses pengambilan putusan tersebut, semua hakim diwajibkan untuk menghadiri pada setiap seluruh tahap persidangan dan dalam proses pengambilan putusan tersebut harus adanya aklamasi (putusan bulat) dari majelis hakim yang didasarkan atas evaluasinya terhadap alat-alat bukti yang diajukan dalam seluruh proses persidangan. Di samping itu, Mahkamah dapat memberikan putusan yang berupa restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi. Di dalam ICC juga, tidak dikenal hukuman mati, yang dikenal hanya hukuman seumur hidup atau hukuman penjara paling lama 30 tahun. Sedangkan untuk pidana penjara dapat ditambah dengan pidana tambahan yaitu:
- Denda sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam aturan mengenai hukum acara dan pembuktian.
- Penebusa hasil, kekayaan, dan aset yang diperoleh sesuai hasil baik secara langsung maupun tidak yang diperoleh dari kejahatan yang dilakukannya, dengan tidak melanggar hak-hak pihak ketiga.
Sedangkan berdasarkan mekanisme pengadilan HAM di Indonesia, di dalam Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan di pengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Selain itu, di dalam UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan HAM di luar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM yang berat yaitu ketika adanya suatu pelanggaran HAM berat maka dapat dilakukan penyelidikan menyelidiki atau menerima pengaduan dari korban atau saksi. Komnas HAM yang dapat membentuk suatu tim ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan masyarakat. Hasil penyelidikan tersebut disampaikan kepada Jaksa Agung yang melakukan proses penyidikan, penangkapan dan penuntutan. Apabila setelah melakukan penyelidikan, Komnas HAM menilai tidak terdapat suatu pelanggaran HAM berat maka terhadap kasus tersebut dapat dihentikan oleh Komnas HAM. Setelah dilakukan penyidikan oleh Jaksa Agung dan Jaksa Agung cukup bukti untuk melanjutkan dari proses penyidikan ke proses persidangan. Di dalam proses persidangan ini tidak terdapat proses hearing sebagaimana yang terdapat di dalam Mahkamah Pidana Internasional. Di dalam persidangan, suatu kasus akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh 5 orang hakim Apabila terhadap kasus pelanggaran HAM berat maka diperlukan waktu paling lama 180hari terhitung sejak perkara dilimpahkan di pengadilan HAM untuk diperiksa dan diadili. Apabila p[erkara tersebut dimohonkan banding, maka dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi. Sedangkan untuk mengajukan kasasi dapat diajukan ke Mahkamah Agung. Sedangkan apabila suatu pelanggaran HAM itu terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 maka kasus tersebut akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc yang hukum acara pemeriksaannya sama seperti yang telah diuraikan di dalam UU No. 26 Tahun 2000. Akan tetapi, perbedaannya yaitu mengenai komposisi hakim, JPU, dan Komnas HAM yang dimana di dalam pengadilan HAM ad hoc disebutkan bahwa masa jabatannya sementara (ad hoc). Jenis hukuman diatur di dalam Bab VII UU No. 26 Tahun 2000 dapat berupa hukuman mati, hukuman penjara seumur hidup, hukuman penjara dalama jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila tidak erbukti bersalah, maka pelaku tersebut dapat dibebaskan. Hal ini berbeda dengan Mahkamah Pidana Internasional, yang tidak mengatur putusan yang berupa pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum. Selain itu, pengadilan HAM di Indonesia memiliki suatu kewenangan untuk memutuskan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada para korban pelanggaran HAM yang berat.

Kesimpulan
Setelah melihat dari berbagai sisi, baik dari latar belakang pembentukan, substansi, hukum acara dan pembuktian antara ICC dengan Pengadilan HAM di Indonesia, di dalam UU no. 26 Tahun 2000 hanya memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Akan tetapi hal tersebut tidak secara lengkap menyesuaikan tindak pidana yang diatur yaitu kajahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida yang seharusnya juga disertai dengan penjelasan mengenai unsur-unsur tindak pidananya (elements of crimes). UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini juga tidak mengatur tentang prosedur pembuktian secara khusus untuk mengadili kejahatan yang sifatnya “extraordinary crimes”. Hal tersebut dalam prakteknya menyulitkan proses peradilan HAM yang mengakibatkan majelis hakim melakukan penafsirkan peraturan sesuai dengan pertimbangan majelis hakim.
Jadi sebenernya UU pengadilan HAM UU No. 26 Tahun 2000 secara substansi banyak melakukan pengadopsian dari norma-norma hukum internasional terutama norma-norma dalam SICC (Rome Statute of International Criminal Court). Akan tetapi hal masih banyak kelemahan yang dikarenakan proses pengadopsian dari instrumen internasional yang tidak lengkap dan mengalami banyak kesalahan. Pengadopsian atas konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dan tanggung jawab komando tidak memadai sehingga banyak menimbulkan interpretasi dalam aplikasinya. Kelemahan lainnya adalah tidak ada hukum acara dan pembuktian secara khusus dan masih banyak menggunakan ketentuan yang berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Daftar Pustaka
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional II, Hecca Press,
Jakarta, 2004.
Boer Mauna, Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2008.
I Wayan, 2003. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi.
Zainal Abidin, Pengadilan HAM di Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.
Statuta Roma 1998
UU No. 26 tahun 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar