Kamis, 16 Juni 2011

Kedudukan Peraturan Gubernur Jabar No. 12 Tahun 2011 Tentang Larangan Kegiatan Ahmadiyah di Jawa Barat

Indonesia merupakan negara kesatuan yang menerapkan sistem desentralisasi. Dalam perkembangannya desentralisasi terbagi atas otonomi dan tugas pembantuan. Apabila dilihat dari peristilahan “autonomie” yang berasal dari bahasa yunani (autos yang berarti sendiri, nomos yaitu undang-undang) yang berarti perundang-undangan sendiri (zelfwetgeving). Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundangan (regeling) mengandung pula arti pemerintahan (bestuur). Jadi otonomi berarti hak atau wewenang untuk membuat peraturan sendiri, termasuk pula hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Berdasarkan hal itu, maka pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan di tingkat daerah.
Menurut Prof. Bagir Manan, peraturan perundang-undangan di tingkat daerah dapat diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintahan daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Dalam arti luas, peraruturan perundang undangan di tingkat daerah dapat juga termasuk peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh satuan pemerintah pusat di daerah atau peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah pusat yang berlaku untuk daerah atau wilayah tertentu.
Berdasarkan pasal 7 (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang hierarki peraturan perundang-undangan bahwa Peraturan Daerah termasuk ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Peraturan Daerah dapat meliputi :
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Peraturan perundang-undangan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan atau oleh Kepala Daerah, yakni berupa Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota. Dalam hal ini Keputusan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 146 UU No.32 tahun 2004 seharusnya dikeluarkan dari pengertian peraturan perundang-undangan di tingkat daerah karena keputusan kepala daerah seharusnya dikelompokan sebagai suatu ketetapan. Sehingga yang dapat kita kelompokan sebagai peraturan perundang-undangan daerah yaitu peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Sedangkan di dalam pasal 18 (6) UUD 1945 dikatakan bahwa “Pemerintah Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Dari rumusan tersebut ternyata bahwa salah satu jenis peraturan perundang-undangan di tingkat daerah adalah Perda. Selain Perda masih ada peraturan lain yang dibuat oleh unsur pemerintahan daerah yaitu peraturan Kepala Daerah seperti Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota, dan Peraturan Bupati. Peraturan Kepala Daerah adalah peraturan yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan lainnya. Untuk merealisasikan dari pasal 18 (6) UUD 1945 maka dalam pasal 146 (1) UU No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa “Untuk melaksanakan perda dan atas kekuasaan peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah”.
Dilihat dari proses pembentukan peraturan daerah, adanya penetapan peraturan daerah dilakukan oleh Kepala Daerah dengan mendapatkan persetujuan dari DPRD. Rancangan Perda ini dapat diajukan oleh Kepala Daerah atau DPRD yang kemudian dibahas secara bersama-sama oleh Kepala Daerah bersama DPRD. Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Kepala Daerah menyampaikan raperda mengenai materi yang sama maka yang dibahas adalah raperda yang diajukan oleh DPRD. Dan apabila raperda yang telah disetujui bersama disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi perda. Penetapan perda dilakukan oleh kepala daerah dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu 30hari sejak raperda disetujui bersama oleh DPRD dan kepala Daerah. Dalam hal raperda yang telah disetujui bersama tersebut tidak tidak ditandatangani oleh kepala daerah, maka dalam jangka waktu paling lama 30 hari maka raperda tersebut sah menjadi perda dan diundangkan dalam Lembaran Daerah, sedangkan peraturan Kepala Daerah dimuat dalam berita daerah.
Dilihat dari materi muatan perda berdasarkan pasal 18 (6) UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa substansi peraturan daerah adalah materi mengenai otonomi dan tugas pembantuan. Kemudian apabila kita melihat ke dalam pasal 12 UU No. 10 Tahun 2004 ditetapkan bahwa materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal yang sama mengenai materi muatan Perda diuraikan pula dalam pasal 136 UU No.32 Tahun 2004 yakni sebagai berikut:
(2) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Terdapat perbedaan dari rumusan dalam pasal 18 ayat 6 UUD 1945 dengan rumusan dalam UU No.10 tahun 2004 dan UU No.32 Tahun 2004 yaitu bahwa dalam kedua UU tersebut terdapat rumusan tambahan bahwa Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian materi yang dimuat dalam Peraturan Daerah adalah :
1. Materi mengenai penyelenggaraan otonomi daerah yakni materi yang berhubungan dengan urusan-urusan rumah tangga daerah seperti APBD, susunan organisasi dan tata kerja daerah, perangkat daerah, dsb.
2. Materi yang berhubungan dengan tugas pembantuan karena tugas pembantuan dimintakan kepada Pemerintah Daerah.
3. Materi yang telah diatur dalam peraturan peundang-undangan yang lebih tinggi untuk dijabarkan dalam peraturan daerah.

Mengenai pengertian jenis peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dimaksud dalam praktek banyak menimbulkan masalah, sebab kebanyakan pihak mematok jenis peraturan yang lebih tinggi dari peraturan daerah secara legal diakui adalah apa yang tersirat dalam pasal 7 ayat 1 UU No.10 Tahun 2004 yaitu dari UUD 1945 hingga Perpres. Sementara dalam pasal 7 ayat 4 UU jis Pasal 54 dan pasal 56 masih mengakui keberadaan jenis-jenis peraturan perundang-undangan lain yang dikeluarkan oleh pejabat-pejabat atau badan-badan pemerintahan tingkat pusat seperti peraturan menteri, baik yang sudah ada berupa Keputusan yang harus dibaca sebagai peraturan maupun yang dibentuk sesudah uu no.10 tahun 2004 diundangkan yang kesemuanya berisi peraturan. Misalnya dengan Peraturan Mendagri, apakah dapat dianggap sebagai peraturan yang dapat dijabarkan oleh peraturan daerah.
Sementara itu materi muatan peraturan Kepala Daerah adalah :
1. Penjabaran lebih lanjut ketentuan dalam Perda, baik yang secara tegas diperintahkan untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan Kepala Daerah maupun yang tidak secara tegas diperintahkan.
2. Penjabaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebh tinggi untuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah.
Apabila kita melihat ke dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 Tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat. Menurut saya, Peraturan Kepala Daerah ini sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun dalam pasal 10 ayat 3 UU No. 32 Tahun 2004, terdapat pembagian beberapa urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat yang bukan menjadi kewenangan pemerintah daerah, antara lain:
a. Politik Luar Negeri
b. Pertahanan
c. Keamanan
d. Yustisi
e. Moneter dan Fiskal Nasional; dan
f. Agama
Apabila melihat peraturan tersebut, tentu kita dapat langsung menyimpulkan bahwa peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 tersebut jelas-jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan juga dapat dikatakan telah melanggar asas Lex superior derogat lex inferior. Konsekuensi dari hal tersebut yaitu bahwa peraturan gubernur tersebut tentunya tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mengikat sehingga peraturan tersebut dapat dibatalkan. Akan tetapi apabila kita lihat lebih lanjut dalam ayat 4 disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa. Sehingga Peraturan Gubernur No.12 Tahun 2011 tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan asas Lex Superior derogat Lex Inferior. Akan tetapi Peraturan Gubernur No. 12 Tahun 2011 Tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan daerah dan peraturan yang lebih tinggi. Hal ini diperkut dalam landasan yuridis Peraturan Gubernur No.12 Tahun 2011 yaitu penjabaran lebih lanjut dari UU No. 1/PNPS/1965, UU No. 32 Tahun 2004, PP No. 38 Tahun 2007, SKB 3 Menteri No. 3 Tahun 2008, dll.

1 komentar:

  1. coba lihat penjelasan pasal 10 ayat (3) huruf f UU no32/2004,, dikatakan bahwa khusus terkait urusan agama, sebagian urusan dapat dilimpahkan kepada daerah

    BalasHapus