Minggu, 19 Juni 2011

Prinsip-prinsip dalam ICC

A. Prinsip komplementaris
Prinsip ini dicantumkan dalam alinea kesepuluh piagam statuta ICC yang berisi sebagai berikut “Emphasizing that the international criminal court established under this Statute shall be complementary to national criminal jurisdiction”. Pengadilan pidana internasional ini seharusnya memperkuat dan melengkapi pengadilan pidana nasional dan tidak menggantikan fungsi dan tugas penyidikan, penuntutan, dan peradilan nasional. Hal itu tidak bererti bahwa pengadilan pidana internasional merupakan perpanjangan yurisdiksi pengadilan nasional. Prinsip ini merupakan prinsip baru dalam hukum internasional publik dan memiliki arti yang sangat penting dalam perkembangan hukum internasional karena masyarakat internasional telah memiliki suatu cara yang tepat dalam menangani suatu kejahatan internasional. Cara yang tepat dimaksud ialah bahwa telah dihasilkannya suatu cara yang tepat guna dan efisien dimana keterlibatan masyarakat internasional di dalam kejahatan serius yang terjadi di dalam suatu negara tidak menegasikan kedaulatan negara yang bersangkutan. Prinsip ini justru memperkuat eksistensi prinsip dalam pemberantasan kejahatan internasional yaitu prinsip au dedere au punere. Akan tetapi prinsip ini tidak mengakui secara mutlak prinsip au dedere au punere karena dengan prinsip ini setiap negara locus delicti harus bersedia menyerahkan pelaku kejahatan internasional kepada pengadilan pidana internasional apabila negara locus delicti tersebut dianggap unwilling dan unable. Prinsip ini menunjukan bagaimana hubungan antara Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan Nasional. Berdasarkan prinsip tersebut, maka ada 2 (dua) hal yang esensial sebagai berikut:
(1) bahwa sesungguhnya Mahkamah Pidana Internasional merupakan kepanjangan tangan/wewenang dari pengadilan nasional dari suatu negara;
(2) bahwa sesungguhnya bekerjanya Mahkamah Pidana Internasional tidak serta merta mengganti kedudukan pengadilan nasional. Kedua hal yang bersifat esensial tersebut diatas, dapat diukur dari standar penerimaan atau standards of admissibility (Pasal 17 ayat (1) Statuta Roma-1998), yang mensyaratkan 4 (empat) keadaan sebagai berikut :
1) Mahkamah Pidana Internasional harus menentukan bahwa suatu kasus adalah tidak dapat diterima oleh Mahkamah, jika :
a. kasus kejahatan internasional sedang disidik atau dituntut oleh sejumlah negara yang memiliki jurisdiksi atas kejahatan internasional tersebut kecuali : negara yang berersangkutan tidak mau (unwilling) atau tidak mampu secara bersungguh-sungguh (unable genuinely) melaksanakan penyidikan atau penuntutan.
b. Kasus kejahatan internasional tersebut telah disidik oleh negara yang bersangkutan, akan tetapi negara yang bersangkutan telah menetapkan untuk tidak menuntut tersangka/terdakwa, kecuali tindakan tersebut disebabkan oleh tidak adanya kehendak atau ketidakmampuan Negara yang bersangkutan untuk secara bersungguh-sunguh melakukan penuntutan.
c. terdakwa sudah diadili dan peradilan Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat dilaksanakan berdasarkan Pasal 20 ayat (3).
d. Kasus tersebut tidak bersifat serius untuk diteruskan dan di adili oleh Mahkamah.

B. Prinsip Ne bis in idem terbatas
Prinsip ini bertujuan untuk memberikan suatu kepastian hukum. Prinsip ini diatur dalam pasal 20 Statuta Roma, yang berbunyi sebagai berikut: “ Tidak seorang pun yang telah diadili oleh mahkamah lain karena tindakannya yang juga disebutkan di dalam pasal 6, 7, dan 8 akan dituntut oleh mahkamah karena tindakannya yang sama terkecuali jika proses peradilan di mahkamah yang lain tersebut:
a. Bertujuan untuk melindungi orang yang dimaksud dari pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana dalam yurisdiksi dari mahkamah tersebut; atau
b. Tidak dilakukan secara mandiri atau tidak memihak dengan menunjuk pada norma-norma dari peradilan yang diakui oleh hukum internasional dan dilakukan dengan cara yang tidak konsisten dengan tujuan untuk mencapai keadilan.
Di dalam ketentuan pasal 20 (3) Statuta roma tersebut, prinsip ne bis in idem tidak dianut secara mutlak, akan tetapi terbatas. Dengan kata lain masih dapat diterobos dengan 2 persyaratan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (a) dan (b).

C. Penjatuhan Pidana
Dalam ICC tidak dikenal hukuman mati, tetapi maximal hukuman yaitu hukuman penjara seumur hidup untuk kasus yang ekstrim. Hal tersebut mencerminkan perkembangan dari hukum HAM internasional. Apabila kita melihat kepada sejarah pengadilan pidana internasional, tepatnya dalam IMT Nuremberg dikenal adanya hukuman mati yang dikenakan kepada NAZI yang dianggap telah melakukan kejahatan internasional selama PD II. Persetujuan yang melandasi pelaksanaan MahkamahNurenberg, yakni Agreement for the Prosecution and Punishment of the Major War Criminals of the European Axis tanggal 8 Agustus 1945 tegas memuat ancaman pidana mati. Sedangkan di dalam sistem peradilan ICTY dan ICTR, pidana mati tidak akan pernah diterapkan. Ini juga sekaligus berarti bahwa para pelaku genosida, pelaku kejahatan perang dan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk yang terwujud dalam tindakan-tindakan penyiksaan, eksperimen biologis dalam perang, penyanderaan penduduk sipil, pengeboman desa-desa yang bukan merupakan objek militer dalam perang, perbudakan, pembunuhan, penyiksaan, dan perkosaan sampai kapan pun tidak akan pernah dipidana mati di bawah sistem ICTY dan ICTR. Apa yang sudah dimulai oleh ICTY dan ICTR terkait dengan pidana mati ternyata kemudian dipertegas oleh Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar penyelenggaraan ICC (International Criminal Court). Artikel 77 Statuta Roma 1998 secara tegas menyatakan bahwa pidana pokok yang bisa dijatuhkan terhadap pelaku genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan agresi (the crime of agression). Akan tetapi pidana tambahan dapat dijatuhkan seperti hukuman denda sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dan pengembalian hasil, kekayaan, dan aset yang diperolehnya baik secara langsung maupun tidak langsung dari kejahatan yang dilakukannya. Jadi sama halnya dengan Statuta ICTY dan ICTR, pemidanaan di dalam sistem ICC yang hanya dibatasi pada pidana penjara (imprisonment) akan membuat pelaku kejahatan internasional yang diatur dalam Artikel 5 Statuta Roma (genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan agresi) tidak akan pernah tersentuh oleh pidana mati, betapa pun misalnya pelaku kejahatan ini luar biasa kejam dan tindakannya menyebabkan matinya ribuan orang, termasuk perempuan dan anak-anak.

Daftar pustaka
Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Pidana Internasional II, Hecca Press,
Jakarta, 2004.
Makalah pengadilan pidana internasional, Prof. Romli Atmasasmita
Jurnal ilmu hukum “Hukum Pidana Mati dalam Perspektif Hukum Internasional”, Arie Siswanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar