Minggu, 19 Juni 2011

Sejarah dan Perkembangan Pengadilan Pidana Internasional dan Pengadilan HAM Indonesia

A. Pengadilan Pidana Internasional

a. IMT Nuremberg
IMT Nuremberg merupakan suatu pengadilan Ad Hoc (sementara) dimulai pada November 1945 sampai dengan September 1946, yang dibentuk atas inisiatif sekutu selaku pemenang perang sehingga dikatakan sebagai Victor Justice. Pengadilan ini telah membawa ke meja hijau sebanyak 22 orang penjahat perang NAZI, 11 diantaranya dijatuhi pidana mati. Yurisdiksi materil dari pengadilan Ad Hoc ini meliputi Crimes Against Peace, Crimes Against Humanity, dan War Crimes. Dasar hukum dari pengadilan ini yaitu Charter dan Principle yang dibuat oleh pemenang perang. Selain itu dalam IMT Nuremberg dikenal adanya individual responsibility dan asas retroaktif. Meskipun dalam hukum internasional dilarang menggunakan asas retroaktif karena bertentangan dengan asas legalitas, tetapi penyimpangan terhadap asas-asas hukum universal merupakan suatu kekecualian yang dimungkinkan sesuai dengan kebutuhan hukum pada masanya dan untuk menampung aspirasi keadilan yang restoratif dan tidak semata-mata keadilan yang bersifat restibutive.

b. IMT Tokyo
IMT Tokyo ini serupa dengan IMT Nuremberg yang bersifat sementara, dimulai tahun 1946 sampai dengan 1948. Dasar hukum dari mahkamah ini yaitu Charter dan Principle yang dibuat oleh pemenang perang. Selain itu dalam IMT Nuremberg dikenal adanya command responsibility dan asas retroaktif. Pengadilan Ad Hoc ini telah membawa penjahat perang ke meja hijau, yang diantaranya dijatuhi pidana mati sebanyak 7 orang, 16 orang divonis penjara seumur hidup, 2 orang penjara, 2 orang dinyatakan meninggal dunia, dan 1 orang dinyatakan gila. Yurisdiksi materil dari pengadilan Ad Hoc ini meliputi Crimes Against Peace, Crimes Against Humanity, dan War Crimes.

c. ICTY
Berbeda dengan Mahkamah Internasional nyang merupakan suatu peradilan tetap, mahkamah ini didirikan oleh suatu keputusan DK PBB no. 827 tanggal 25 Mei 1993 yang bertindak dibawah Bab VII Piagam yang berkenaan dengan pemeliharaan perdamaian dan kemanan internasional. Mahkamah ini dibentuk untuk mengadili kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran-pelanggaran berat hukum humaniter di wilayah negara bekas Yugoslavia (Bosnia dan Kosovo). Yurisdiksi mahkamah ini meliputi pelanggaran-pelanggaran berat terhadap Konvensi-konvensi Jenewa 1949, pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang, kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan-tindakan genosida, atau dapat kita katakan juga bahwa ICTY memiliki yurisdiksi terhadap berbagai kejahatan baik di dalam internal armed coflict maupun internasional armed conflict. Dalam hal pembentukan ICTY berdasarkan resolusi DK PBB, DK PBB dianggap sebagai suatu lembaga yang paling tepat untuk membentuk ICTY. Hal ini dikarenakan terdapat pelanggaran secara luas hukum humaniter internasional di wilayah bekas negara Yugoslavia, termasuk pembunuhan-pembunuhan massal dari pembersihan etnis, sehingga menimbulkan suatu ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. , Jadi, pembentukan mahkamah ini merupakan suatu sumbangan yang sangat berarti bagi pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi dan pengukuhan hukum humaniter internasional dan sekaligus mengingatkan kepada para pelanggar HAM berat yang akan datang bahwa mereka tidak akan bebas begitu saja dan akan ada pengadilan pidana internasional yang akan menuntut dan mengadili mereka.
d. ICTR
Seperti halnya dengan ICTY, mahkamah ini dibentuk berdasarkan DK PBB melalui resolusi no. 955, 8 November 1994, dibawah wewenang Bab VII Piagam. Yurisdiksi ICTR ini hanya meliputi peristiwa-peristiwa yang terjadi oada tahun 1994 saja dimana kelompok mayoritas etnik Hutu melakukan pembantaian terhadap kelompok etnis minoritas Tutsi yang menelan korban jiwa sekitar 800.000 orang, sehingga dapat dikatakan bahwa yurisdiksi mahkamah ini adalah internal armed conflict. Sedangkan yurisdiksi materilnya meliputi Genosida, pelanggaran konvensi Geneva, dan Kejahatan terhadap kemanusiaan. ICTR dalam melakukan kegiatannya secara pararel dengan sistem peradilan Rwanda yang menuntut mereka yang melakukan perbuatan genosida dan dalam melaksanakan tugas-tugasnya mendapatkan dukungan dan kerja sama yang baik dari negara-negara Afrika lainnya. Pembentukan ICTR dan keberhasilan dalam melaksanakan tugasnya ini memiliki arti yang penting bagi benua Afrika yang sering dilanda perang saudara dan kudeta.

e. Special Court for Sierra Leone (SCSL)
Masih di benua Afrika, pada bulan Januari 2002 atas dasar persetujuan antara pemerintah Sierra Leone dan PBB dibentuk pula Mahkamah Khusus untuk Sierra Leone. SCSL ini merupakan Mixed Tribunal yaitu Mahkamah yang terdiri dari hakim-hakim internasional dan hakim-hakim nasional. Tugas dari SCSL ini adalah menuntut dan mengadili orang-orang yang sangat bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan pelanggaran-pelanggaran berat lainnya terhadap hukum humaniter internasional serta kejahatan-kejahatan yang dilakukan melanggar perundang-undangan Sierra Leone yang relevan dan terjadi di wilayah Sierra Leone semenjak tanggal 30 November 1996. SCSL ini dibentuk berdasarkan resolusi DK PBB No. 1315, 14 Agustus 2000. Selain itu, SCSL ini selama 2 tahun didirikan telah mengeluarkan dakwaan terhadap 13 orang yang mewakili 3 faksi yang saling berperang, 2 orang tersangka sudah meninggal.



f. Cambodia
Sama halnya dengan SCSL, Cambodia merupakan suatu mahkamah yang termasuk ke dalam Mixed Tribunal. Mahkamah tersebut dibentuk untuk menuntut dan mengadili para penjahat terhadap kemanusiaan dan penjahat perang Kmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot yang antara tahun 1975-1979 telah membunuh penduduk sekitar 1. 700. 000 orang. Dalam mahkamah Pidana di Camboja dpimpin oleh hakim-hakim yang dipilih oleh Majelis Umum PBB dan hakim-hakim yang ditunjuk oleh pemerintah setempat.

g. Mahkamah Pidana Internasional
Perang Dunia II telah membawa bencana dan malapetaka besar terhadap umat manusia yang telah menelan korban jiwa sekitar 60 juta orang, jauh lebih banyak dari korban pada perang dunia I yang berjumlah 38 juta orang. . Kejahatan-kejahatan perang, pembunuhan secara sistematik, perbuatan genosida telah menandai bahwa adanya perang global, pembunuhan-pembunuhan secara massal dan sistematik terus terjadi.Keadaan tersebut telah mendorong masyarakat internasional untuk secepatnya membentuk mahkamah yang dapat mengadili para pelaku kejahatan perang tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, sudah lama para ilmuwan memikirkan untuk membentuk suatu pengadilan yang dapat menuntut dan mengadili para pelaku kejatan perang, pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Gagasan untuk membentuk mahkamah pidana ini terus bergulir dan dari tahun 1949 – 1954 Komisi Hukum Internasional PBB menyiapkan beberapa draft statuta bagi pembentukan suatu mahkamah pidana internasio nal. Pada tahun 1994 komisi hukum internasional telah menyelesaikan pekerjaannya dalam pembuatan draft statuta tersebut dan menyerahkan kepada Majelis Umum PBB. Majelis Umum PBB kemudian menyerahkannya kepada Ad Hoc Committe tentang pembentukan Mahkamah Pidana Internasional untuk melanjutkan pembahasan atas isu-isu yang substantif. Kemudian pada tahun 1995, MU PBB membentuk Preapatory Committe setelah mempelajari laporan dari Ad Hoc Committe sebelum melanjutkannya ke konferensi diplomatik. Berdasarkan resolusi MU PBB No. 51/207, 1966 dan resolusi No.52/160, 1997 diselenggarakan the United Nations Diplomatic Conference of Plenipotentiaries tentang Pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasional yang berlangsung dari tanggal 15 Juni – 17 Juli 1998. Sampai dengan 31 Desember 2000, Statuta Mahkamah Pidana Internasional tersebut terdapat 139 negara yang menandatangi. Pembentukan Mahakamah Pidana Internasional ini sungguh merupakan peristiwa sejarah yang sangat penting dalam perkembangan sistem hukum karena individu-individu dapat dibawa ke mahkamah apabila terbukti melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sesuai dengan pasal 126 Statuta melai berlaku setelah didepositkannya pada Sekjen PBB ratifikasi ke 60 yaitu tanggal 1 Juli 2002. Sampai bulan September 2004, 97 negara sudah meratifikasi statuta tersebut. Mahkamah Pidana Internasional hanya menuntut dan mengadili individu-individu yang bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional. Mahkamah Pidana Internasional ini memiliki beberapa yurisdiksi, diantaranya yaitu:
- yurisdiksi materil yang meliputi the Crime of Genocide, Crimes Against Humanity, War Crimes, The Crime of Aggression.
- yurisdiksi temporal yaitu bahwa kejahatan-kejahatan yang termasuk ke dalam yurisdiksi materil dan dilakukan sejak tanggal 1 Juli 2002 akan dapat dibawa ke ICC.
- yurisdiksi territorial yaitu bahwa ICC dapat diberlakukan di wilayah negara peserta (negara yang ikut menandatangani dan/atau meratifikasi statuta roma), negara yang menerima yurisdiksi ICC, dan atas putusan DK PBB.
- yurisdiksi personal yaitu ICC dapat diberlakukan kepada negara peserta, negara yang menerima yurisdiksi ICC, dan sepanjang menurut DK PBB layak untuk dibawa ke ICC.
Statuta ICC ini memiliki beberapa prinsip yang dapat digolongkan ke dalam 2 golongan yaitu prinsip-prinsip yang bersifat spesifik dan prinsip-prinsip yang bersifat universal. Prinsip-prinsip yang bersifat spesifik ini meliputi 7 prinsip yaitu: prinsip komplementaris, prinsip non-impunity, prinsip admissibillty, prinsip ne bis in idem yang bersifat limitatif, prinsip kerjasama internasional, prinsip non capital punishment, dan prinsip imunitas Hakim Majelis. Prinsip-prinsip yang bersifat universal yang merupakan prinsip umum hukum pidana (general principles of criminal law) meliputi: prinsip nullum crimen sine lege, prinsip nulla poena sine lege, prinsip non-retroaktif, prinsip individual criminal responbility, prinsip command responbility, prinsip non kadaluarsa, prinsip pengecualian dalam pertanggungjawaban, dan prinsip praduga tak bersalah.

B. Pengadilan HAM di Indonesia
Pada tanggal 23 september 1999 telah diundangkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Salah satu aplikasi dari perlindungan HAM adalah bahwa terhadap barang siapa melakukan pelanggaran HAM berat dapat diketahui harus diadili dan bila terbukti harus dihukum sesuai sanksi hukum yang diancamkan. Pasal 104 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menentukan:
(1) Untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk dengan undang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.
(3) Sebelum terbentuk Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggrana HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh Pengadilan yang berwenang.
Sebagai langkah lanjut dari pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, pada tanggal 23 September 2000 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebagai konsekuensi diundangkannya undang-undang ini, maka ada kewajiban pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM. Sebagai realisasinya pada tanggal 23 April 2001 telah diundangkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2001 tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebagai tindak lanjut untuk pembentukan Pengadilan HAM maka diundangkan Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001, yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001 tanggal 1 Agustus 2001 yang mengubah Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001. Untuk melaksanakan Keputusan Presiden mengenai pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, MA telah membentuk Kelompok Kerja Persiapan Pelaksanaan Peradilan HAM. Kelompok kerja kini kemudian melaksanakan tugasnya dengan menghubungi perguruan-perguruan Tinggi, lembaga atau institusi yang melakukan studi tentang HAM untuk memperoleh masukan dan kontribusi dari Dosen-Dosen atau memimpin lembaga studi mengenai HAM atau sebagai penatar dalam penataran dan temu ilmiah tentang HAM. Upaya ini dilakukan oleh Kelompok Kerja MA dalam rangka merekrut-rekrut Hakim-hakim Ad Hoc bersama-sama hakim karier yang telah ditunjuk. Kombinasi hakim tersebut dipersiapkan sebagai Hakim-hakim Peradilan HAM Ad Hoc. Hal tersebut dengan tujuan supaya perkara HAM yang berat dapat diadili secara lebih objektif. Melalui proses yang cukup panjang, akhirnya terbentuklah Peradilan HAM Ad Hoc yang bertempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (sesuai Kepres Nomor 96 Tahun 2001). Hakim Pengadilan HAM tingkat pertama dilantik pada tanggal 31 Januari 2002. Kemudian Jaksa Agung RI melalui keputusan Jaksa Agung Kep. 092/A/JA/02/2002 tanggal 7 Februari 2002 telah mengangkat 24 Jaksa Ad Hoc, dan pada hari Kamis tanggal 21 Februari 2002 penyerahan perkara untuk pertama kalinya oleh Jaksa diserahkan pada Peradilan HAM Ad Hoc. Pada tanggal 14 Maret 2002 Pengadilan HAM Ad Hoc untuk pertama kalinya menggelar persidangan perkara pelanggaran HAM di Timtim.

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Pidana Internasional II, Hecca Press,
Jakarta, 2004.
Dirdjosisworo, Soedjono, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Mauna, Boer, Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar